MAKALAH TOLERANSI DAN PLURALISME
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pluralisme merupakan salah satu topik menarik untuk dikaji berkaitan
dengan perubahan masyarakat disuatu tempat. Dalam dataran tertentu, pluralisme
adalah bentuk hubungan antaramanusia. Hubungan itu tidak pernah ada dalam ruang
kosong, melainkan senantiasa dipengaruhi konteks tempat dan waktu. Ibarat
pendulum yng bergerak dari kanan ke kiri yang akan diikuti perubahannya dari
waktu ke waktu, maka begitu pula pluralisme.
Pluralisme berasal dari kata pluralism yaitu suatu padangan atau
paham yang memiliki prisip bahwa keanekaragaman bukan penghalang untuk bisa
hidup berdampingan secara damai dalam satu masyarakat yang sama. Untuk bisa
hidup secara damai di lingkungan masyarakat yang plural, maka harus ditunjang
dengan sikap toleransi antar sesama. Toleransi berarti memperkenankan atau
sabar dengan tanpa protes terhadap perilaku orang / kelompok lain yang dapat
diartikan juga sebagai sikap menghormati, melindungi, dan kerja sama terhadap
yang lain.
2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
konsep toleransi ?
2.
Apa
kelemahan toleransi ?
3.
Apa
itu pluralisme ?
4.
Apa
itu pluralisme agama ?
5.
Bagaimana
pluralisme agama dalam Islam ?
6.
Bagaimana
masa depan pluralisme agama di Indonesia ?
3.
Tujuan
1.
Mengetahui
konsep toleransi
2.
Mengetahui
kelemahan tolerasi
3.
Mengetahui
apa yang dimaksud dengan pluralisme
4.
Mengetahui
apa yang dimaksud dengan pluralisme agama
5.
Mengetahui
bagaimana pluralisme agama dalam Islam
6.
Mengetahui
masa depan pluralisme agama di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Konsep Toleransi
Toleransi secara bahasa berasal dari bahasa inggris “tolerance”
yang berarti membiarkan. Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagi sifat atau
sikap toleran, mendiamkan membiarkan. [1]Dalam
bahasa Arab kata toleransi (mengutip kamus al-munawir disebut dengan istilah
tasamuh yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada) badawi mengatakan,
tasamuh (toleransi) adalah pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada
kedisaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beraneka ragam
meskipn tidak sependapat dengannya (bahari, 2010:51)
Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan,
membiarkan pendirian pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan
sebagainya yang lain atau yang bertentangan dengan pendirinya sendiri. Misalnya
agama, Ideologi, Ras (Poerwadarminta, 1976:829).
Menurut Tillman toleransi adalah saling meghargai, melalui
pengertian dengan tujuan kedamaian. Toleransi adalah metode menuju kedamaian.
Toleransi disebut sebagai faktor esensi untuk perdamaian. (Tillman, 2004:95)
Pada intinya Toleransi berarti sifat dan sikap menghargai. Sifat dan sikap
menghargai harus ditunjukkan oleh siapapun terhadap bentuk pluralitas yang ada
di Indonesia. Sebab toleransi merupakan sikap yang paling sederhana, akan
tetapi mempunyai dampak yang positif bagi integritas bangsa pada umumnya dan
kerukunan bermasyarakat pada khusunya. Tidak adanya sikap toleransi dapat
memicu konflik yang tidak diharapakan.
Pelaksanaan sikap toleransi ini harus didasari dengan sikap
kelapangan dada terhadap orang lain dengan memperhatikan prisip-prinsip yangg
dipegang sendiri, yakni tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tersebut (Daud Ali,
1989:83). Jelas bahwa toleransi terjadi dan berlaku karena terdapat perbedaan
prinsip, dan enghormati perbedaan atau prinsip orang lain tanpa mengorbankan
prinsip sendiri.
Dapat disimpulkan, bahwa toleransi ialah sikap seseorang dimana
mampu membiarkan dengan lapang dada, menghargai, mengakui, menghormati, tidak
dendam, pengertian, terbuka terhadap pendapat, perbedaan, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, sikap dan sebagainya yang lain atau yang bertentangan
dengan pendiriannya sendiri.
Konsep dari toleransi itu sendiri dapat diketahui dimana masyarakat
saling menghormati, melindungi, dan bekerja sama agar tercipta suasana
kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Apabila sikap toleransi dalam masyarakat
hilang maka akan terjadi banyak konflik antar masyarakat.
2.
Kelemahan Toleransi
Toleransi adalah sikap menerima dengan lapang dada, menghargai,
mengakui, menghormati, tidak dendam, pengertian, terbuka terhadap pendapat,
perbedaan, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, sikap dan sebagainya yang lain
atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri namun, bukan berarti
toleransi tidak memiliki kelemahan. Ada beberapa kelemahan toleransi, yaitu :
1.
Jika
tidak diikuti dengan epoche maka, tidak akan ada rasa simpatik yang
muncul.
2.
Jika
hanya dilakukan oleh satu pihak, ada kemungkinan pihak yang lain akan
membangkang.
3.
Memungkinkan
adanya pihak yang memanipulasi untuk kepentingan pribadi
4.
Jika
toleransi diterapkan secara berlebihan, dikhawatirkan terjadinya penyesalan
atas pekerjaan yag dianggap baik.
3.
Pluralisme
Kata “pluralisme” berasal dari bahasa Inggris, “pluralism”. Apabila
merujuk dari Wikipedia bahasa Inggris, definisi pluralism adalah:
“In the social scienses, pluralism is a framework of interaction in which
group show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully
coexist and interact without conflict or assimilation.” Suatu kerangka
interaksi tempat setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleransi satu
sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembaruan/pembiasaan).
Pluralisme bukan hanya mempresentasikan adanya kemajemukan (etnik,
bahasa, budaya dan agama) dalam masyarakat yang berbeda-beda akan tetapi,
pluralisme harus memberikan penegasan bahwa dengan segala keperbedaan, mereka
adalah sama di ruang publik.[2]
Musa asy’arie menegaskan, bahwa sesungguhnya berbeda dengan orang
lain bukanlah sutau kesalahan, apalagi kejahatan, namun sebaliknya sangat
diperlukan. Tentunya berbeda dalam pengertian ini bukan asal berbeda. Perbedaan
suatu realitas sosial yang fundamental, yag harus dihargai dan dijamin
pertumbuhannya oleh masyarakat itu sendiri.[3]
Dalam kaitannya dengan pluralitas, Al-Quran, surat Al-Hujurat ayat
13 memengaskan : “Hai sekalian manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang lakiaki dan seorang perempuan, dan kami jadikan kau berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu
di sisi Allah ialah yang lebih taqwa di antara kamu.”
Ayat Al-Quran ini sesungguhnya mengajarkan kepada kita semua akan
penting dan perlunya memberlakukan perbedaan dan pluralitas secara arif. Yaitu
untuk saling mengenal dan belajar atas adanya perbedaan dan pluratas itu untuk
saling membangun dan memperkuat saling pengertian dan tidak melihatnya hanya
dalam prespektif tinggi dan rendah atau baik dan buruk. Tinggi rendah rendahnya
manusia di hadapan Tuhan tidak ditentukan oleh adanya realitas perbedaan dan
pluralitas, tetapi oleh kadar ketaqwaannya.
4.
Pluralisme Agama
Agama merupakan entitas yang mengandung, mengutip perkataan para
ahli sosiologi agama, pandangan-pandangan dasar di mana suatu kelompok atau
masyarakat manusia mengorganisir kehidupan mereka (the grounds of meaning).
Yakni, memuat orientasi-orientaasi dasar terhdap kehidupan kemanusiaan,
kemasyarakatan, konsep-konsep megenai waktu dan makna mati, serta konsep-konsep
kosmologis dasar dalam hubungannya dengan eksistensi manusia.[4]
Berbagai keyakinan agama menggunakan simbol yang berbeda untuk
mengekspresikan Yang Maha Mutlak. Ekspresi tersebut muncul dalam banyak tradisi
keberagamaan seperti Allah, Vishnu, Amitabha dan lain sebagainya. Teolog
Kristen seperti John Hick dapat disebut sebagai pencetus dan penyebar pandangan
ini.
Pluralisme dalam konteks agama, akan terjadi jika para pemeluk
agama membuka diri dengan beresedia berdialog terbuka. Diantara para pemeluk
agama, mereka saling menghormati dan bisa bermitra dengan agama lain.
Pluralisme agama dalam praktiknya tidak hanya mengakui adanya
keragaman pemikiran, kehidupan, tingkah laku dan perbedaan dalam setiap agama.
Jauh lebih penting adalah adanya kesadaran untuk hidup bersama di atas
perbedaan dengan menjunjung tinggi nilai kebersamaan, kententraman dan
kemanusiaan. Kehidupan sosial yang semakin kompleks, pesoalan yang dihadapi
pluralisme juga semakin berat. Pada posisi ini paham pluralis agama bisa
menyumbangkan perannya secara nyata di masyarakat.
Ruang kebebasan untuk berekspreri dan pengalaman agama diberikan
dalam paham pluralisme. Bahkan sampai munculnya aliran atau sekte dalam agam
bukan suatu hal tabu. Oleh karena munculnya aliran dalam agama mendapat
kesempatan secara terbuka, maka untuk antisipasi atas kebebasan tersebut perlu
kiranya memberikan sebuah batasan yang bisa dijadikan alasan pembenar untuk
memasukkan sebuah aliran dalam kategori sesat dan tidak sesat.
5.
Pluralisme Agama dalam Islam
Islam memiliki sejarah yang panjang dalam merespon keberagaman
masyarakat. Sosok ideal normatif Islam yang sudah di contohkan Rasul dalam
membangun kebersamaan harus tetap dijaga, dan tidak dicederai oleh gerakan yang
hanya dipicu egoisme, dan arogansi masing-masing kelompok. Fakta yang terjadi
atas konflik dangan atas nama agama, merupakan problem yang harus dicarikan
jalan keluar, agar kristalisasi internal yang cenderung kian menguat dan
mengarah ke konflik terbuka, karena hanya akan membahayakan tatanan sosial
masyarakat pluralis. Kenyataan ini seharusnya disadari betul, bahwa penataan
dan pengaturan masyarakat akan menemukan kiatnya sampai pada batas yang sangat
memungkinkan baik di internal maupun di eksternal antar agama.
Menurut Gamal Al-Banna, seorang aktivis organisasi militan Ikhwanul
Muslimin, Al-Quran telah membicarakan pluralisme ketika menegaskan sikap
menerima agama-agama selain Islam untuk hidup berdampingan. Agama Yahudi,
Kristen dan yang lain diakui eksistensinya oleh Islam. Penerimaan Islam
terhadap agama lain didasarkan pada dua alasan: sejarah dan obyektif. Alasan
sejarah karena umt Islam dapat memahami bahwa tiga agama (Yahudi, Kristen, dan
Islam) yang besar sesungguhnya terlahir dari bapak yang satu (Nabi Ibrahim) dan
ibu yang banyak, sedangkan alasan obyektif adalah kembali pada cara pandang
Islam terhadap konsep Tuhan sebagai pencipta alam dengan segala isinya. Karena
alasan obyektif inilah Gamal menyatakan bahwa Al-Quran tidak pernah menganggap pluralitas
agama sebagai masalah yang sensitif, dikarenaka semua agama ciptaan Allah.
Pada awal Islam masuk ke Indonesia, persoalan umat memang tidak
serumit setelah Islam berkembang dan banayak mendapat pengikut. Relasi umat
Islam dengan umat lain, umat Islam dengan budaya, umat Islam dengan politik dan
tradisi, menjadi semakin rumit persoalan yang dihadapi umat Islam. Berbagai
kebutuhan dasar keagamaan dan tuntutan sosial lainnya menjadi varian tambahan
yang mengiringi perkembangan dinamika umat Islam. Menjawab akan kebutuhan dan
tuntutan masyarakat tersebut, berdiri sebuah organisasi-organisasi Islam sebagi
wadah gerakan dakwah dengan beragam argumentasi yang mengiringi latar belakang
pendiriannya akhirnya menjadi sebuah kebutuhan.
Dengan merujuk Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 213, ada tiga fakta
penerimaan Islam terhadap pluralisme. Pertama, kesatuan umat dibawah satu
Tuhan. Kedua, kekhususan agama-agam yang dibawa oleh para nabi. Ketiga, peranan
wahyu dalam mendamaikan perbedaan di antara berbgai umat beragama. Ketiganya
adalah konsepsi fundamenal Al-Quran yang tidak mengingkari kehususan berbagai
agama dan menekan kebutuhan untuk mengakui kesatuan manusia serta menumbuhkn
pemahaman yang lebih baik antar umat beragama.
6.
Masa Depan Pluralisme Agama di Indonesia
Pada masa Orde baru masalah pluralisme memang relatif kecil, karena
aliran kepercayaan, tapi pengikutnya harus menganut satu agama : Islam,
Kristen, Katolik, Hidhu, Budha. Perkembangan semua agama dan aliran kepercayaan
saat itu diawasi secara ketat, apalagi yang merupakan gerakan protes.[5] Praktis tidak
ada lagi berbagai aliran-aliran yang muncul masa Orde Baru.
Pada masa ini, yaitu masa reformasi ruang kebebasan dibuka secara
luas, ekspresi orang dalam pengalaman dan pemahaman terhadap agama sering pula
dibawa ke ranah publik. Keragaman budaya dan tradisi yang menjadi kehidupan,
tiba-tiba terbangunkan dari sejumlah persoalan, karena keberadaannya
dipersoalkan oleh para penentangnya dari sisi teologis, sehingga harmonisasi
budaya dan tradisi menjadi terusik. Padahal dalam prinsip yang faktanya
beragam, hal itu semestinya tidak terjadi. Pada masa saat ini berbagai kelompok
sosial, politik, dan agama mudah berdiri, dan sulit unutk dikendalikan dengan
dalih sebuah kebebasan. Kasus Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Lia Eden, Eyang Subur
dan kasus Ahmadiyah, merupakan fenomena keberagaman yang menuai sebuah petaka
dari ketidakharmonisan dalam sebuah tatanan kehidupan yang serba plural.
Menguatnya politik Islam dan gerakan ekstimis, membawa umat Islam
pada kondisi yang disorot kurang memberi kontribusi pada pluralisme. Bahkan
aktifitas politik Islam harus berhadapan dengan sebuah kekua global. Gerakan
Islam dan politik Islam harus dibawa pada ketundukan untuk memberi dukungan
pada demokratisasi. Pilihan-pilihan logis modernisasi yang sudah ada di depan
mata, pada akhirnya harus memaksa kita unuk menjadi lebih paham dan lebih
mengerti terhadap sebuah perbedaan dan keragaman.
Jika kita melihat perbedaan agama di masa sekarang di Indonesia,
tidak menutup kemungkinan ada muncul berbagai aliran-aliran dari berbagai agama
(bukan hanya agama Islam) yang berkembang di masyarakat karena terbukanya pintu
kebebasan di indonesia dan jika perbedaan tidak diiringi dengan sikap
toleransi, maka yang terjadi adalah ketidakharmonisan antarumat beragama.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pluralisme bukan hanya mempresentasikan adanya kemajemukan (etnik,
bahasa, budaya dan agama) dalam masyarakat yang berbeda-beda akan tetapi,
pluralisme harus memberikan penegasan bahwa dengan segala keperbedaan, mereka
adalah sama di ruang publik. Pluralisme adalah sebagai suatu kerangka interaksi
tempat setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleransi satu sama lain,
berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembaruan/pembiasaan).
Toleransi ialah sikap seseorang dimana mampu membiarkan dengan
lapang dada, menghargai, mengakui, menghormati, tidak dendam, pengertian,
terbuka terhadap pendapat, perbedaan, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, sikap
dan sebagainya yang lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri.
Konsep dari toleransi itu sendiri dapat diketahui dimana masyarakat
saling menghormati, melindungi, dan bekerja sama agar tercipta suasana
kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Apabila sikap toleransi dalam masyarakat
hilang maka akan terjadi banyak konflik antar masyarakat.
Agama merupakan entitas yang mengandung pandangan-pandangan dasar
di mana suatu kelompok atau masyarakat manusia mengorganisir kehidupan mereka.
Berbagai keyakinan agama menggunakan simbol yang berbeda untuk mengekspresikan
Yang Maha Mutlak. Ekspresi tersebut muncul dalam banyak tradisi keberagamaan
seperti Allah, Vishnu, Amitabha dan lain sebagainya.
Pluralisme dalam konteks agama, akan terjadi jika para pemeluk
agama membuka diri dengan beresedia berdialog terbuka. Diantara para pemeluk
agama, mereka saling menghormati dan bisa bermitra dengan agama lain.
Relasi umat Islam dengan umat lain, umat Islam dengan budaya, umat
Islam dengan politik dan tradisi, menjadi semakin rumit persoalan yang dihadapi
umat Islam. Berbagai kebutuhan dasar keagamaan dan tuntutan sosial lainnya
menjadi varian tambahan yang mengiringi perkembangan dinamika umat Islam.
Menjawab akan kebutuhan dan tuntutan masyarakat tersebut, berdiri sebuah
organisasi-organisasi Islam sebagi wadah gerakan dakwah dengan beragam
argumentasi yang mengiringi latar belakang pendiriannya akhirnya menjadi sebuah
kebutuhan.
Pada masa Orde baru masalah pluralisme memang relatif kecil, karena
aliran kepercayaan, tapi pengikutnya harus menganut satu agama : Islam, Kristen,
Katolik, Hidhu, Budha. Perkembangan semua agama dan aliran kepercayaan saat itu
diawasi secara ketat, apalagi yang merupakan gerakan protes. Praktis tidak ada lagi berbagai aliran-aliran
yang muncul masa Orde Baru.
Pada masa Reformasi ruang kebebasan dibuka secara luas, ekspresi
orang dalam pengalaman dan pemahaman terhadap agama sering pula dibawa ke ranah
publik. Keragaman budaya dan tradisi yang menjadi kehidupan, tiba-tiba
terbangunkan dari sejumlah persoalan, karena keberadaannya dipersoalkan oleh
para penentangnya dari sisi teologis, sehingga harmonisasi budaya dan tradisi
menjadi terusik. Padahal dalam prinsip yang faktanya beragam, hal itu
semestinya tidak terjadi. Pada masa saat ini berbagai kelompok sosial, politik,
dan agama mudah berdiri, dan sulit unutk dikendalikan dengan dalih sebuah
kebebasan.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan, Andy.
2005. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga
Mansur,
Sufa’at. 2012. Toleransi Dalam Agama Islam. Yogyakarta: Harapan Kita.
Masduqi, Irwan.
2011. Berislam Secara Toleran. Bandung: Mizan.
Subkhan, Imam.
2007. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogyakarta. Yogyakarta: Impluse.
Thoha, Anis
Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta:
Perspektif.
Ummatin,
Khoiro. 2015. Sejarah Islam & Budaya Lokal. Yogyakarta: Kalimedia
[1]Kamus
Besar Bahas Indonesia
[2] Khoiro
Ummatin, Sejarah Kebudayaan Islam & Budaya Lokal (Yogyakarta :
Kalimedia, 2015), hlm. 158
[3] Andy
Darmawan, pengantar Studi Islam (Yogyakarta : Pokja akademik UIN Sunan
Kalijaga, 2005), hlm. 130
[4] Haidlor
Ali Ahmad, Kasus-Kasus Aktual Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia (Jakarta
: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2015), hlm. x
[5] Khoiro
Ummatin, Sejarah Kebudayaan Islam & Budaya Lokal, (Yogyakarta :
Kalimedia, 2015), hlm. 162
Komentar
Posting Komentar