MAKALAH TENTANG DEMOKRASI
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH DEMOKRASI DI BARAT DAN DI INDONESIA
1.1 SEJARAH DEMOKRASI DI BARAT
Konsep demokrasi semula lahir dari
pemikiran mengenai hubungan negara dan hokum di Yunani Kuno dan dipraktekkan
dalam hidup bernegara antara abad ke-6 SM sampai abad ke-4 M. Demokrasi yang
dipraktikkan pada masa itu berbentuk demokrasi langsung (direct democracy)
artinya hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung
oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung itu
berjalan secara efektif karena Negara Kota (City State) Yunani Kuno berlangsung
dalam kondisi sederhana dengan wilayah negara yang hanya terbataspada sebuah
kota kecil dengan jumlah penduduk sekitar 300.000 orang. Selain itu ketentuan
menikmati hak demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, sedangkan
bagi warga negara yang berstatus budak belian, pedagang asing, perempuan dan
anak-anak tidak dapat menikmatinya.
Gagasan demokrasi Yunani Kuno
berakhir pada abad pertengahan. Masyarakat abad pertengahan dicirikan oleh
struktur masyarakat yang feudal, kehidupan spiritual dikuasai oleh Paus dan
pejabat agama, sedangkan kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan
diantara para bangsawan. Dengan demikian kehidupan social politik dan agama
pada masa ini hanya ditentukan oleh elit-elit
masyarakat yaitu kaum bangsawan dan kaum agamawan. Karena itu demokrasi
tidak muncul pada abad pertengahan.[1]
Namun menjelang akhir abad
pertengahan, tumbuh kembali keinginan menghidupkan demokrasi. Lahirnya Magna
Charta sebagai suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan
Raja John di Inggris merupakan tonggak baru kemunculan demokrasi empiric.
Piagam tersebut memuat dua prinsip yang sangat mendasar yaitu pertama, adanya
pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting daripada
kedaulatan raja.
Momentum lainnya yang menandai
kemunculan kembali demokrasi di dunia barat adalah gerakan renainssance dan
reformasi. Renainssance merupakan gerakan yang menghidupkan kembali minat pada
sastra dan budaya Yunani Kuno. Gerakan ini lahir di Barat karena adanya kontak
dengan dunia islam yang ketika itu sedang berada pada puncak kejayaan peradaban
ilmu pengerahuan. K. Hitti menyatakan bahwa dunia islam telah memberikan
sumbangan besar terhadap kemajuan dan perkembangan Eropa melalui
terjemahan-terjemahan terhadap warisan Parsi dan Yunani Kuno dan
menyebrangkannya ke Eropa melalui Siria, Spanyol dan Sisilia. Negara-negara
tersebutlah yang merupakan arus penyebrangan ilmu pengetahuan dari dunia islam
ke Barat. Renainsssance di Eropa bersumber dari tradisi keilmuan islam pada
pemulian akal pikiran untuk selalu mencipta dan mengembangkan ilmu pengetahuan telah
mengilhami munculnya kembali gerakan demokrasi. Kemudian gerakan reformasi
yaitu suatu gerakan revolusi agama yang terjadi di Eropa pada abad ke-16 yang
bertujuan untuk memperbaiki keadaan dalam gereja katolik. Hasil dari gerakan
reformasi adalah adanya peninjauan terhadap doktrin gereja katolik yang
berkembang menjadi protestanisme.
John Locke dan Montesquieu
masing-masing dari Inggris dan Perancis telah memberikan sumbangan yang besar
bagi gagasan pemerintahan demokrasi. John Locke (1632-1704) mengemukakan bahwa
hak-hak politik rakyat mencakup ha katas hidup, kebebasan dan hak memiliki.
Sedangkan Montesquieu (1689-1944) mengungkapkan system pokok yang menurutnya
dapat menjamin hak-hak politik tersebut melalui “trias politica”nya, yakni
suatu system pemisahan kekuasaan dalam negara menjadi tiga bentuk kekuasaan
yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang masing-masing harus dipegang
oleh organ sendiri secra merdeka. Pada kemunculannya kembali di Eropa, hak-hak
politik rakyat dan hak-hak asasi manusia secara individu merupakan tema dasar
dalam pemikiran politik (ketatanegaraan). Untuk itu, timbul gagasan tentang
cara membatasi kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Di atas konstitusi inilah bisa ditentukan
batas-batas kekuasaan pemerintah dan jaminan atas hak-hak politik rakyat,
sehingga kekuasaan pemerintah diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan
lembaga-lembaga hokum. Gagasan inilah yang kemudian dinamakan
konstitusionalisme dalam system ketatanegaraan. Dimana salah satu ciri penting
dari konstitusionalisme yang hidup pada abad ke-19 ini adalah sifat pemerintah
yang pasif artinya pemerintah hanya menjadi wasit atau pelaksana sebagai
keinginan rakyat yang dirumuskan oleh wakil rakyat di parlemen. Di sini peran
negara lebih kecil daripada peranan rakyat karena pemerintah hanya jadi
pelaksana keinginan rakyat yang diperjuangkan secara liberal untuk menjadi
keputusan parlemen.
Dalam konsep konstitusionalisme abad
ke-19 ini disebut Negara Hukum Formal (Klasik). Namun konsep Negara Hukum
Formal mulai digugat menjelang pertengahan abad ke-20 tepatnya setelah perang
dunia. Beberapa factor yang mendorong lahirnya kecaman atas Negara Hukum Formal
yang pluralis liberal, seperti yang dikemukakan oleh Mariam Budiadjo antara
lain adalah akses-akses dalam industrialisasi dan system kapitalis, tersebarnya
paham sosialisme yang menginginkan pembagian kekuasaan secara merata serta kemenangan
beberapa partai sosialis di Eropa. Dari demokrasi konstitusional lahirnya suatu
gagasan baru yang disebut gagasan Welfare State yang diberi tugas membangun
kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan dengan konsejuensi pemberian
kemerdekaan kepada administrasi negara dalam menjalankannya. Dalam bidang
legislasi bahkan freies ermessen dalam welfare state ini mempunyai tiga macam
implikasi yaitu adanya hak inisiatif (membuat peraturan yang sederajat dengan
UU tanpa persetujuan lebih dahulu dari parlemen, kehidupan berlakunya dibatasi
oleh waktu tertentu). Hak legislasi (membuat peraturan yang sederajat dibawah
UU) dan droit function (menafsirkan sendiri aturan-aturan yang masih bersifat
enunsiatif). Jadi dalam perkembangan terakhir, demokrasi ala welfare state juga
mulai ditinjau ulang. Tentu saja konsep demokrasi di barat pun masih terus
berjalan dan mengalami perubahan-perubahan signifikan. [2]
1.2 SEJARAH DEMOKRASI DI INDONESIA
Perkembangan demokrasi di Indonesia
mengalami pasang surut dari masa kemerdekaan sampai sat ini. Dalam perjalanan
bangsa dan negara Indonesia, masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana
demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Perkembangan demokrasi di Indonesia dari segi waktu dibagi dalam empat
periode :
1.
Demokrasi
pada periode 1945-1959
Demokrasi
pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. System parlementer
yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan di proklamatirkan dan kemudian
diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950,ternyata kurang cocok untuk
Indonesia. Persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh bersama dan
tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstuktif sesudah kemerdekaan
tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi system parlementer memberi
peluang untuk dominasi partai-partai politik dan DPR.
UUD
1950 menetapkan berlakunya system parlementer dimana badan eksekutif terdiri
dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta menteri-menterinya
yang mempunyai tanggungjawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik
usia cabinet pada masa ini jarang dapat bertahan cukup lama. Koalisi yang
dibangun dengan sangat gampang pecah. Hal ini mengakibatkan destabilisasi
politik nasional. Ditambah dengan tidak mampunya anggota-anggota partai yang
tergabung dalam konstituante untuk mencapai consensus mengenai dasar negara
untuk undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden untuk
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang menentukan berlakunya kembali UUD
1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan system parlementer berakhir. [3]
2.
Demokrasi
pada periode 1959-1965
Ciri-ciri
periode ini adalah dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai
politik,berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur
social politik. Dekrit presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha
untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan
kepemimpinan yang kuat. UUD 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk
bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No.
III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah
“membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (UUD memungkinkan seorang presiden
untuk dipilih kembali) yang ditentukan UUD”. G.30 S/PKI telah mengakhiri
periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya masa demokrasi Pancasila. Pada
periode ini dikenal dengan demokrasi terpimpin. Dapat dikatakan bahwa demokrasi
terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan tanpa anarkisme, liberalisme dan
otokrasi dictator. Demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan
system pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan saru
kekuasaan sentral yang sepuh, seorang tetua dan mengayomi. Dalam pidatonya pada
tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno mengatakan bahwa prinsip-prinsip
dasar demokrasi terpimpin ialah : 1. Tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti
kepada kepentingan umum, masyarakat,bangsa dan negara; 2. Tiap-tiap orang
berhak mendapat penghidupan layak dalam masyarakat,bangsa dan negara.[4]
3.
Demokrasi
pada periode 1965-1998
Landasan
formil dari periode ini adalah Pancasila,UUD 1945 serta ketetapan-ketetapan
MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD yang
telah terjadi dalam masa demokrasi terpimpin, telah diadakan tindakan korektif.
Ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir.
Soekarno telah dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjadi jabatan elektif
setiap lima tahun. DPR diberi beberapa hak control,disamping itu ia tetap
mempunyai fungsi untuk membantu pemerintah. Pimpinannya tidak lagi mempunyai
status menteri. Golongan Karya ,dimana anggota ABRI memainkan peran penting,
diberi landasan konstitusionil yang lebih formil. Selai itu beberapa hak asasi
diusahakan supaya diselenggarakan secara lebih penuh dengan memberi kebebasan
lebih luas kepada pers untuk menyatakan pendapat,dan kepala partai-partai
politik untuk bergerak dan menyusun kekuatannya,terutama menjelang pemilihan
umum 1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya partisipasi golongan-golongan
dalam masyarakat disamping diadakan pembangunan ekonomi secara teratur.
Beberapa
perumusan tentang demokrasi Pancasila sebagai berikut: a. demokrasi dalam
bidang politik pada hakekatnya adalah menegakkan kembali azas-azas negara hokum
dan kepastian hokum; b. demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakekatnya adalah
kehidupan yang layak bagi semua warga
negara; c. demokrasi dalam bidang hokum pada hakekatnya bahwa pengakuan dan
perlindungan HAM, peradilan yang bebas yang tidak memihak.
Namun
demikian demokrasi Pancasila dalam rezim orde baru hanya sebagai retorika dan
gagasan belum sampai pada tataran praksis atau penerapan. Karena dalam praktek
kenegaraan dan pemerintahan rzim ini sangat tidak memberikan ruang bagi
kehidupan berdemokrasi.[5]
4.
Demokrasi
pada periode 1998-sekarang
Runtuhnya
rezim otoriter orde baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di
Indonesia. Bergulirnya reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut
menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi
merupakan fase krusial yang kritis, karena dalam fase ini akan ditentukan
kemana arah demokrasi yang akan dibangun. Selain itu dalam fase ini pula bisa
saja terjadi pembalikan arah perjalanan bangsa dan negara yang akan menghantar
Indonesia kembali memasuki masa otoriter sebagaimana yang terjadi pada periode
orde lama dan orde baru.
Sukses
atau gagalnya suatu transisi demokrasi sangat bergantung pada empat factor
kunci yakni : (1) komposisi elite politik, (2) desain instuisi politik, (3)
kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elite dan non
elite, dan (4) peran civil society. Keempat factor itu harus jalan secara
sinergis dan berkelindan sebagai modal untuk mengonsolidasi demokrasi. [6]
B.
KOMPONEN PENEGAK DEMOKRASI
Tegaknya demokrasi sebagai sebuah tata
kehidupan social dan system politik sangat bergantung kepada tegaknya unsur
penopang demokrasi itu sendiri. Unsur-unsur yang dapat menopang tegaknya demokrasi antara lain
:
1. NEGARA HUKUM
Dalam kepustakaan
ilmu hokum di Indonesia istilah negara hokum sebagai terjemahan dari
rechtsstaat dan the rule of law. Konsepsi negara hokum mengandung pengertian bahwa negara
memberikann perlindungan hokum bagi warga negara melalui pelembagaan peradilan
yang bebas dan tidak memihak dan penjaminan hak asasi manusia.
Konsep restsstaat
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Adanya perlindungan terhadap HAM
b. Adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan
pada lembaga negara untuk menjamin perlindungan HAM
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan
d. Adanya peradilan administrasi.
Adapun
the rule of law dicirikan oleh :
a.
Adanya
supremasi aturan-aturan hokum
b.
Adanya
kesamaan kedudukan di depan hokum
c.
Adanya
jaminan perlindungan HAM
Dengan
demikian konsep negara hokum sebagai gabungan dari dua konsep diatas dicirikan
sebagai berikut :
1.
Adanya
jaminan perlindungan terhadap HAM
2.
Adanya
supremasi hokum dalam penyelenggaraan pemerintahan
3.
Adanya
pemisahan dan pembagian kekuasaan negara
4.
Adanya
lembaga peradilan yang bebas dan mandiri
Sementara itu istilah negara hokum di
Indonesia dapat ditemukan dalam penjelasan UUD 1945 yang berbunyi “ Indonesia
ialah negara yang berdasar atas hokum dan bukan berdasar atas kekuasaan
belaka”. Penjelasan tersebut merupakan gambaran system pemerintahan negara
Indonesia.
Dengan
demikian berdasarkan penjelasan diatas bahwa negara hokum baik formal yaitu
penegakan hokum yang dihasilkan oleh lembaga legislative dalam penyelenggaraan
negara, maupun negara hokum dalam arti materiil yaitu selain menegakkan hokum,
aspek keadilan juga harus diperhatikan menjadi prasyarat terwujudnya demokrasi
dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Tanpa negara hokum tersebut yang
merupakan elemen pokok suasana demokratis sulit dibangun. [7]
2.
MASYARAKAT
MADANI
Masyarakat madani ( civil society )
dicirikan dengan masyarakat terbuka , masyarakat yang bebas dari pengaruh
kekuasaan dan tekanan negara, masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif
serta masyarakat egaliter. Masyarakat madani merupakan elemen yang sangat
signifikan dalam membangun demokrasi. Sebab salah satu syarat penting bagi
demokrasi adalah terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses-proses
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara atau pemerintahan.
Masyarakat
madani mensyaratkan adanya civic engagement yaitu keterlibatan warga negara
dalam asosiasi-asosiasi social. Civic engagement ini memungkinkan tumbuhnya
sikap terbuka, percaya, dan toleran antarsatu dengan lain yang sangat penting
artinya bagi bangunan politik demokrasi (Saiful Mujani:2001).[8]
3.
INFRASTRUKTUR
POLITIK
Komponen berikutnya yang dapat mendukung
tegaknya demokrasi adalah infrastruktur politik yang terdiri dari partai
politik, kelompok gerakan dan kelompok penekan atau kelompok kepentingan.
Partai politik merupakan struktur kelembagaan politik yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama yaitu memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam mewujudkan
kebijakan-kebijakannya. Kelompok gerakan yang bisa disebut dengan organisasi
masyarakat merupakan sekumpulan orang-orang yang berhimpun dalam satu wadah
organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan warganya seperti Muhammadiyah
dan NU. Sedangkan kelompok penekan atau kelompok kepentingan merupakan
sekelompok orang dalam sebuah wadah organisasi yang didasarkan pada kriteria
professional dan keilmuan tertentu.
Fungsi
patai politik merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai demokrasi yaitu adanya
partisipasi,control rakyat melalui partai politik terhadap kehidupan kenegaraan
dan pemerintahan serta adanya pelatihan penyelesaiaan konflik secara damai
begitu pula yang dilakukan oleh kelompok gerakan dan kelompok penekan yang
merupakan perwujudan adanya kebebasan berorganisasi, kebebasan menyampaikan
pendapat dan melakukan oposisi terhadap negara dan pemerintah. Dengan demikian
partai politik,kelompok gerakan dan kelompok penekan sebagai einfrastruktur
politik menjadi salah satu pilar tegaknya demokrasi.[9]
C.
TOLAK UKUR DEMOKRASI
Landasan pokok atau gagasan dasar suatu
pemerintahan demokrasi ialah pengakuan hakikat manusia, yaitu bahwa pada
dasarnya manusia itu mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungannya antara
yang satu dan yang lain. Berdasarkan gagasan dasar itu, dapat ditarik dua buah
asas pokok sebagai berikut.
1.
pengakuan
partisipasi di dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk
lembaga perwakilan rakyat secara bebas dan rahasia.
2.
Pengakuan hakikat dan martabat manusia,
misalnya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi
kepentingan bersama.
Dalam
konteks NKRI, Achmad sanusi mengetenengahkan sepuluh pilar demokrasi yang
dipesankan oleh para pembentuk Negara sebagaimana diletakkan didalam UUD 1945
sebagai berikut :
1.
Demokrasi
berdasarkan ketuhanan yang maha Esa
Esensinya
adalah seluruh system serta perilaku dalam menyelenggarakan kenegaraan RI
haruslah taat asas, konsisten, atau sesuai dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah
dasar ketuhanan yang maha esa.
2.
Demokrasi
dengan kecerdasan
Demokrasi
harus dirancang dan dilaksanakan oleh segenap rakyat dengan
pengertian-pengertiannya yang jelas, dimana rakyat sendiri turut terlibat
langsung merumuskan substansinya, menguji cobakan desainnya, menilai dan
menguji keabsahanya.
3.
Demokrasi
yang berkedaulatan rakyat
Demokrasi
menurut UUD 1945 ialah demokrasi yang berkedaulatan rakyat, yaitu kekuasaan
tertinggi ada ditangan rakyat. Secara prinsip, rakyatlah yang memiliki atau
memegang kedaulatan itu. Kedaulatan itu kemudian dilaksanakan menurut UUD.
4.
Rule
of Law
Negara
adalah organisasi kekuasaan, artinya organisasi yang memiliki kekuasaan dan
dapat menggunakan kekuasaan itu dengan paksa. Dalam negara hokum, kekuasaan dan
hokum itu merupakan kesatuan konsep yang integral dan tidak dapat
dipisah-pisahkan. Implikasinya dalah kekuasaan negara harus punya legitimasi
hokum.
5.
Demokrasi
dengan pembagian kekuasaan negara
Demokrasi
dikuatkan dengan pembagian kekuasaan negara dan diserahkan kepada badan-badan
negara yang bertanggungjawab menurut undang-undang dasar.
6.
Demokrasi
dengan hak asasi manusia
Demokrasi
menurut UUD 1945 mengakui hak asasi manusia yang tujuannya bukan saja
menghormati hak-hak asisi, melainkan untuk meningkatkan martabat dan derajat
manusia seutuhnya. Hak asasi manusia bersumber pada sifat hakikat manusia yang
diberikan oleh Tuhan yang maha Esa. Hak asasi manusia bukan diberikan oleh
negara atau pemerintah. Hak ini tidak boleh dirampas atau diasingkan oleh
negara dana tau siapapun.
7.
Demokrasi
dengan peradilan yang merdeka
Lembaga
peradilan merupakan lembaga tertinggi yang menyuarakan kebenaran, kadilan, dan
kepastian hokum. Lembaga ini merupakan pelaksaan kekuasaan kehakiman yang
merdeka. Dimuka pengadilan, semua pihak mempunyai hak dan kedudukan yang sama.
8.
Demokrasi
dengan otonomi daerah
Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
9.
Demokrasi
dengan kemakmuran
Demokrasi
bukan sekedar soal kebebasan dan hak, bukan sekedar soal kewajiban dan
tanggungjawab, bukan pula sekedar soal mengorganisir kedaulatan rakyat atau
pembagian kekuasaan. Demokrasi bukan pula sekedar soal otonomi daerah dan
keadilan hokum. Sebab berbarengan dengan itu semua, demokrasi menurut UUD 1945
ternyata ditujuksn untuk membangun negara berkemakmuran atau kesejahteraan oleh
dan untuk sebesar-besarnya rakyat Indonesia.
10.
Demokrasi
yang berkeadilan social
Demokrasi
menurut UUD 1945 menggariskan keadilan sosial diantara berbagai kelompok
,golongan, lapisan masyarakat.[10]
Dapat disimpulkan bahwa yang termasuk ke
dalam tolak ukur demokrasi yaitu: adanya keterlibatan warganegara, adanya
persamaan hak kewarganegaraan, adanya kebebasan dan kemerdekaan warganegara,
mengutamakan rakyat, serta pemilu atau musyawarah.
D.
KARAKTERISTIK MODEL DEMOKRASI
Sklar
mengajukan lima corak atau model demokrasi yaitu:
1.
Demokrasi
liberal yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan pemilihan umum
bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang tetap. Banyak negara afrika
menerapkan model ini hanya sedikit yang bisa bertahan
2.
Demokrasi
terpimpin. Para pemimpin percaya bahwa semua tindakan mereka dipercaya rakyat,
tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing sebagai kendaran untuk menduduki
kekuasaan.
3.
Demokrasi
social adalah demokrasi yang menaruh kepedulian pada keadilan social dan
egaliterianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan politik.
4.
Demokrasi
partisipasi, yang menekankan hubungan timbal balik antara penguasa dan yang
dikuasai.
5.
Demokrasi
consociational, yang menekankan proteksi khusus bagi kelompok-kelompok budaya
yangmenekankan kerja sama yang erat diantara elit yang mewakili bagian budaya
masyarakat utama.
Selanjutnya
pembagian demokrasi dilihat dari segi pelaksanaan meurut inu kencana terdiri
dari dua model:
1.
Demokrasi
langsung (direct democracy), terjadi bila rakyat mewujudkan kedaulatannya pada
suatu negara dilakukan secara langsung. Lembaga legislative hanya berfungsi
sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan, pemilihan eksekutif dilakukan
rakyat secara langsung melalui pemilu begitu pula pemilihan anggota parlemen
atau legislative dilakukan rakyat secara langsung.
2.
Demokarasi
tidak langsung (indirect democracy), terjadi bila untuk mewujudkan
kedaulatannya rakyat tidak secara langsung berhadapan dengan pihak eksekutif,
melainkan melalui lembaga perwakilan. Lemabaga parlemen dituntut kepekaan terhadap
berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, dalam hubungannya
dengan pemerintah atau negara. Dengan demikan demokrasi tidak langsung disebut
juga demokrasi perwakilan.[11]
E.
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN DEMOKRASI
Berikut
akan dibahas mengenai berbagai hal yang menjadi kelebihan dan kekurangan
demokrasi.
Ø Kelebihan demokrasi
1.
Melindungi
kepentingan rakyat
Demorasi merupakan system yang
melindungi kepentingan rakyat. Kekuasaan yang sesungguhnya terletak ditangan
orang-orang yang mewakili rakyat banyak. Para wakil rakyat dipilih dan harus
bertanggungjawab kepada rakyat yang memilihnya. Dengan cara ini, kepentingan
social, ekonomi dan politik rakyat menjadi lebih terjamin dibawah demokrasi.
2.
Berdasarkan
prinsip kesetaraan
Demokrasi didasarkan pada prinsip
kesetaraan. Semua warga negara memiliki kedudukan sama dimata hokum. Semua
rakyat memiliki hak social,politik dan ekonomi yang sama dan negara tidak boleh
membedakan warga negara atas dasar kasta,agama,jenis kelamin,atau kepemilikan.
3.
Stabilitas
dan tanggung jawab dalam pemerintahan
Demokrasi dikenal sebagai system yang
stabilitas dan efisien. Pemerintahan berjalan stabil karena didasarkan pada
dukungan public. Dalam demokrasi perwakilan,wakil rakyat mendiskusikan masalah
negara secara menyeluruh dan mengambil keputusan berdasarkan aspirasi rakyat.
Di bawah system monarki, elit kerajaan mengambil keputusan sesuai keinginannya
sendiri. Sedangkan di bawah kediktatoran, dictator tidak melibatkan rakyat sama
sekali dalam pengambilan keputusan.
4.
Pendidikan
politik kepada rakyat
Demokrasi bisa berfungsi sebagai
sekolah pendidikan politik bagi rakyat.
Rakyat akan ikut terdorong untuk mengambil bagian dalam urusan negara. Pada
saat pemilihan umum, partai politik mengusulkan kebijakan dan program untuk
dinilai oleh rakyat. Hal ini pada akhirnya menciptakan kesadaran politik
dikalangan masyarakat.
5.
Sedikit
peluang revolusi
Karena demokrasi didasarkan pada
kehendak public, terdapat kemungkinan kecil terjadi pemberontakan rakyat. Para
wakil dipilih oleh rakyat untuk melakukan urusan negara dengan dukungan rakyat.
Jika mereka tidak bekerja dengan baik atau tidak memenuhi harapan rakyat, para
wakil bisa saja tidak dipilih lagi dalam pemilu berikutnya. Dengan cara ini,
rakyat tidak perlu melakukan pemberontakan saat menginginkan perubahan.
6.
Pemerintahan
stabil
Demokrasi didasarkan pada kehendak
rakyat sehinggu penyelenggaraan negara berjalan didasarkan atas dukungan
rakyat. Oleh karena itu, demokrasi dianggap lebih stabil daripada bentuk
pemerintahan lain.
7.
membantu
membentuk rakyat menjadi warga negara yang baik
Keberhasilan demokrasi terletak pada
bertumbuhnya warga negara yang baik. Demokrasi menciptakan lingkungan yang
tepat untuk pengembangan kepribadian dan menumbuhkan kebiasaan yang baik. Dalam
demokrasi, rakyat dilatih untuk memahami hak dan kewajiban mereka.
Ø Kelemahan demokrasi
1.
Lebih
menekankan pada kuantitas daripada kualitas
Demokrasi tidak didasarkan pada
kualitas tetapi pada kuantitas. Partai mayoritas memiliki wewenang memegang
pemerintahan. Selain itu, orang yang tidak memiliki kecerdasan, visi dan
korupsi bisa saja terpilih menjadi penyelenggara negara.
2.
Berdasarkan
kesetaraan yang tidak wajar
Konsep kesetaraan dalam demokrasi
dianggap bertentangan dengan hokum alam. Alam memberi setiap individu dengan
kecerdasan dan kebijaksanaan yang berbeda. Faktanya, kemampuan tiap orang
berbeda.
3.
Menurunkan
standar moral
Satu-satunya tujuan kandidat adalah
memenangkan pemilihan. Mereka sering menggunakan politik uang dan praktik bawah
tangan lainnya agar terpilih. Kekuatan otot dan uang bekerja bahu-membahu untuk
memastikan kemenangan seorang kandidat. Dengan demikian, moralitas adalah
korban pertama dalam pemilu.
4.
Tidak
terjadi pemerintahan yang stabil
Ketika tidak ada partai yang menjadi
mayoritas mutlak, pemerintahan koalisi harus dibentuk. Koalisi partai politik
dengan pembagian kekuasaan hanya merupakan perkawinan semu. Setiap kali terjadi
benturan kepentingan, koalisi hancur dan pemerintahan runtuh. Dengan demikian,
pemerintah stabil di bawah demokrasi bisa sulit dicapai.
5.
Kediktatoran
mayoritas
Demokrasi dikritik karena menjadi
legitimasi kediktatoran mayoritas. Mayoritas diharuskan melindungi kepentingan
minoritas tetapi dalam praktiknya tidak selalu demikian. Mayoritas setelah
mendapatkan kesuksesan saat pemilu terkadang melupakan minoritas dan
menjalankan pemerintahan sesuai dengan kehendak mereka sendiri.
F.
ISLAM DAN DEMOKRASI
Salah satu isu yang paling popular sejak
dasawarsa abad ke 20 yang baru lalu adalah isu demokratisasi. Diantara
indicator paling jelas dari kepoluleran tersebut adalah berlipat gandanya
jumlah negara yang menganut system pemerintahan demokratis. Namun demikian
ditengah gemuruh proses demokratisasi yang terjadi dibelahan dunia, dunia islam
sebagaimana dinyatakan oleh para pakar seperti Larry Diamond, Juan J. Linze,
Semour Martin Lipset tidak mempunyai prospek untuk menjadi demokratis serta
tidak mempunyai pengalaman demokrasi yang cukup. Hal senada juga dikemukakan
oleh Samuel P Hantington yang meragukan ajaran Islam sesuai dengan
prinsip-prinspi demokrasi. Karena itu dunia Islam dipandang tidak menjadi
bagian dari gemuruhnya proses demokratisasi dunia. Dengan demikian terdapat
pesimisme berkaitan pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia Islam.
Perdebatan dan wacana tentang hubungan antara Islam dan demokrasi sebagaimana
diakui oleh Mun’im A. Sirry memang masih menjadi tema perdebatan dan wacana
yang menarik dan belum tuntas. Karena itu kesimpulan yang diberikan oleh para
pakar diatas bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi hanyalah bagian dari
wacana yang berkembang diantara pakar politik Islam ketika mereka megkaji
hubungan Islam dan demokrasi.
Berdasarkan
pemetaan yang dikembangkan oleh John L.Esposito dan James P.Piscatori secara
umum dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok pemikiran. Pertama, Islam dan
demokrasi adalah dua system politik yang berbeda. Islam dipandang sebagai
system politik alternative terhadap demokrasi. Demokrasi sebagai konsep barat
tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Sementara Islam sebagai agama yang sempurna yang tidak saja
mengatur persoalan aqidah dan ibadah melainkan mengatur segala aspek kehidupan
manusia. Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi. Demokrasi adalah konsep yang
sejalan dengan Islam setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep
demokrasi itu sendiri. Ketiga, Islam adalah system nilai yang membenarkan dan
mendukung system politik demokrasi seperti yang dipraktikkan negara-negara
maju. Di Indonesia, pandangan yang ketiga tampaknya yang lebih dominan karena
demokrasi sudah menjadi bagian integral system pemerintahan Indonesia dan
negara-negara muslim lainnya.
Penerimaan negara-negara muslim terhadap
demokrasi sebagimana dikemukakan oleh kelompok ketiga tidak berati bahwa
demokrasi dapat tumbuh dan berkembang di negara muslim secara otomatis dan cepat. Ada beberapa alasan
teoritis yang bisa menjelaskan tentang lambannya pertumbuhan dan perkembangan
demokrasi di dunia Islam. Pertama, pemahaman doctrinal menghambat prakter
demokrasi hal ini disebabkan oleh kebanyakan kaum muslim yang cenderung
memahami demokrasi sebagi sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Kedua,
persoalan kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba dinegara-negara muslim
sejak paruh abad 20 karena warisan kultural masyarakat muslim sudah terbiasa
dengan otokrasi dan ketaatan pasif pada dasarnya hampir tidak dijumpai hambatan
teologis dikalangan tokoh-tokoh partai, ormas ataupun gerakan Islam yang
memperhadapkan demokrasi Islam. Bahkan ada kecenderungan untuk merambah misi
baru yaitu merekonsiliasi perbedaan antara berbagai teori politik modern dengan
doktrin Islam. Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di dunia Islam tidak ada
hubungan dengan teologi dengan kultur melainkan lebih terkait dengan sifat
alamiah demokrasi itu sendiri. Dengan menggunakan parameter yang sangat
sederhana pengalaman empiric demokrasi hanya bisa ditemukan selama pemerintahan
Rasulullah sendiri yang kemudian dilanjutkan oleh empat sahabatnya yang dikenal
dengan zaman khulafa al rasyidin. Setelah pemerintahan keempat sahabat tersebut
menurut catatan sejarah sangat sulit kita menemukan demokrasi di dunia Islam
secara empiric sampai sekarang ini.[12]
Untuk
demokrasi religius Islam memang tidak bisa ditemukan pada semua agama sehingga
demokrasi religious ini tidak bisa diterapkan dalam agama selain Islam. Pada
dasarnya, dalam Islam pemerintahan selalu berorientasi pribadi dan model
pemerintahan dengan orientasi demikian merupakan model pemerintahan dengan ideology
yang tidak selaras dengan kedaulatan rakyat yang merupakan prinsip demokrasi. (Dr. Mohammad Bagher Khorramsshad.Demokrasi
Religius, RausyanFikr Institute,Yogyakart. 2013 Halaman 123)
G.
PROSPEK DEMOKRASI DI INDONESIA
Menghadapi masalah politik di Indonesia
dewasa ini yang diwarnai hiruk pikuk demokrasi semenjak keruntuhan rezim
otrotritarian orde baru perlu dibedakan antara ilusi demokrasi dan mekanisme
proseduralnya. Meletakkan demokrasi pada ilusi atau nilai-nilai sesuai makna
idealnya berarti mengabaikan konteks perwujudan prinsip kedaulatan rakyat,
sementara demokrasi bagaimanapun menuntut harus dipraktekkan. Demokrasi dalam
perwujudannya memang tak semudah menggosok Lampu Aladin. Mengutip Frans Magnis
Suseno (1995), demokrasi sesungguhnya mengandung sifat relativistic dan
kontekstualitas. Karena itu, maka perlu disadari bahwa demokrasi dalam
perwujudannya merupakan proses “menjadi” meski bertahap dan evolusioner.
Demokrasi tidak hanya mensyaratkan
perubahan pada lembaga-lembaga politik tetapi juga perilaku pelakunya. Jika
nilai-nilai masyarakat belum siap maka actual menimbulkan masalah anomi. Namun
demikian demokrasi harus tetap berusaha diwujudkan meski kontestasinya baru
sebatas sebuah proses belajar. Ada dua hal yang bisa menjadi indicator untuk
menilai ada tidaknya upaya perwujudan demokrasi. Pertama, adanya sikap belajar
yang tumbuh dikalangan pelaku untuk menyadari dan menggunakan hak-hak
politiknya seraya menghargai setiap perbedaan dan pluralitas tanpa memaksakan
kepentingan dengan menggunakan kekerasan. Kedua, terkait konteks konsilidasinya
yang ditandai dengan diterapkannya system politik yang secara procedural
bersifat terbuka dan selalu memunculkan dorongan bagi peningkatan control
rakyat terhadap pemerintah untuk mencegah penguasa politik bertindak tidak
demokratis.
Dalam konteks ini perwujudan demokrasi
tidak sepenuhnya tergantung dari rakyat. Secara kurtural, perkembangannya amat
ditentukan oleh kaum elite. Apakah berhasil menyosialisasikan nilai-nilai
demokrasi melalui perilakunya atau tidak, sehingga rakyat pun bisa belajar
mengembangkan kesadaran dan partisipasi yang bersifat etis pula. Dibutuhkan
kemauan dan keteladanan elit untuk menerjemahkan kedalam perilaku mereka
sehingga terbangun pula masyarakat yang sadar demokrasi. Untuk peningkatan
kualitas praktek demokrasi di Indonesia penting melihat perkembangan tata nilai
individu dan kolektif kita. Sekitar tujuh tahun perjalanan revormasi, sejak
keruntuhan orde baru apakah masyarakat semakin mampu menunjukkan perilaku
politik yang kian dewasa atau malah kian devisit jauh dari tuntutan idealitas
demokrasi. Jika jawabannya negative maka berarti sebenarnya kalangan elite
sendiri belum belajar demokrasi selama ini.
Menurut hatta demokrasi di Indonesia
itu sudah disesuaikan dengan karakter masyarakatnya, jadi otomatis prospek
demokrasi untuk Indonesia yaitu mensejahterakan masyarakatnya, menampung semua
aspirasi-aspirasi rakyatnya. (Zulfikar
Sulaeman. Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta, PT Kompas
Media Nusantara, Jakarta, 2010 Halaman 181)
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Demokrasi adalah pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi di Barat lahir di Yunani Kuno dan dipraktekan pada
abad ke-6 SM dan berakhir pada abad pertengahan. Menjelang abad pertengahan
lahir Magna Charta dan dilanjutkan munculnya gerakan renaisssance
dan reformasi yang menekankan pada adanya hak atas hidup, hak kebebasan dan hak
memiliki. Selanjutnya pada abad ke-19 muncul gerakan demokrasi konstitusional.
Dari demokrasi konstitusional melahirkan demokrasi welfare state. Sedangkan Perkembangan demokrasi di
Indonesia mengalami pasang surut dari masa kemerdekaan samapai saat ini.
Sejarah demokrasi dan perkembangannya dibagi menjadi empat periode, yaitu:
a.
Periode 1945-1959
b.
Periode 1959-1965
c.
Periode 1965-1998
d.
Periode 1998- sekarang
Komponen penegak demokrasi yaitu: Negara
Hukum, Masyarakat Madani, dan Infrastruktur. Untuk kelebihan demokrasi sendiri
yaitu:
•
Melindungi kepentingan masyarakat
•
Berdasarkan prinsip kesetaran
•
Stabilitas dan tanggung jawab dalam pemerintahan
•
Pendidikan politik kepada rakyat
•
Membantu masyarakat menjadi warga negara yang baik
Dan untuk
kekurangannya yaitu:
•
Lebih menekankan pada kualitas dari pada kuantitas
•
Berdasarkan kesetaraan yang tidak wajar
•
Menurunkan standar moral
•
Tidak terjadi pemerintahan yang stabil
•
Kediktatoran Mayoritas
Perbandingan
Islam dan Demokrasi dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Islam dan
Demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda.
b. Islam berbeda
dengan demokrasi dalam definisi barat.
c. Islam adalah
sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sisitem politik demokrasi.
Prospek demokrasi Indonesia itu tujuannya
mensejah terakan masyarakat dan menumbuhkan sikap menghargai HAM. Tetapi
kenyataannya malah tidak sesuai dengan yang diharapkan, pemimpin hanya
mementingkan diri sendiri.
DAFTAR
FUSTAKA
Tim
ICCE UIN Jakarta.2000.Demokrasi Hak Asasi
Manusia Masyarakat Madani.Jakarta: Prenada Media
Baehaqi,Arif
Dikdik.2014.Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikann Politik dan Wawasan Kebansaan di Perguruan Tinggi.Yogyakarta:
Kaukaba
Sulaeman
,Zulfikar.2010.Demokrasi untuk Indonesia
Pemikiran Bung Hatta. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
[1] Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, Hal 125
[2] Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, Hal 126-130
[3] Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, Hal 130
[4] Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, Hal 131
[5] Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, Hal 133
[6] Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, Hal 135
[7] Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, Hal 177
[8] Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, Hal 119
[9] Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, Hal 120
[10] Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Politik dan Wawasan
Kebangsaan di Perguruan Tinggi, Hal 76-80
[11] Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, Hal 121
[12] Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, Hal 141-144
Komentar
Posting Komentar