Makalah Demokrasi dan Civil Society
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia yang memiliki latar
belakang geografis yang strategis yang menjadikannya jalur perlintasn para
nenek moyang seluruh bangsa di dunia. Dari kenyataan tersebut menjadikan bangsa
Indonesia heterogen, mulai dari suku ras dan agamanya. Dari hal tersebut dapat
menimbulkan berbagai perbedaan pandandan dan pendapat yang tentu setiap
kelompok memiliki pemahaman, tujuan dan keinginan yang berbeda pula. Dengan
demikian setiap anggota kelompok maupun individu ingin terwujud yang ia
inginkan.
Kritik pada system kebijakan
pemerintahan yang terkadang tidak sesuai dengan ayang dikehendaki rakyat yang
diperparah dengan keotoriteran pemerintah kepada warga masyarakatnya memicu
warga negara yang telah cerdas kini mengungkapkan ketidak adilan yang mereka
alami.
Dengan mengawasi dan mengkritik
pemerintahan yang menginginkan sebuah
degara yang demokratis dan bebas berekspresi dalam setiap kehiduapannya.
Walaupun terkadang sekarang ini kebebasan terkadang melampaui batas hingga
bahkan justru merenggut hak individu lain
1.2
Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud demokrasi ?
2) Apa saja aspek aspek yang ada dan
berpengaruhi dalam demokrasi?
3) Apa yang dimaksud civil society ?
4) Apa saja aspek-aspek yang ada dan
berpengaruh dalam civil society?
5) Apa hubungsn demokrasi dan civil society?
1.3
Tujuan
1) Mengetahui yang dimaksud dengan dmokrasi
dan segala aspek yang ada di dalamnya;
2) Mengetahui civil society dan segala aspek didalamnya;
3) Mengetahui keterkaitan demokrasi dan civil society.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Demokrasi
Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan
dimana formulasi kebijakan, secara langsung atau tidak langsung ditentukan oleh
suara terbanyak dari warga masyarakat yang memiliki hak memilih dan dipilih,
melalui wadah pembentukan suaranya dalam keadaan bebas dan tanpa paksaan.
Demokrasi ialah bahwa warga negara
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam penerintahan karena dirinya
memiliki kadaulatan.
2.2 Pengertian Civil Society
Civil society sering disebut dengan
masyarakat madani, masyarakat warga, masyarakat kewargaan berbudaya. Istilah
civil society berasal dari bahasa latin, yaitu civitas dei kota illahi.
Asal kata civil adalah civilization
(beradab). Civil society secara sederhana dapat diartikan sebagai masyarakat
beradab.Civil society pada hakekatnya menginginkan adanya suatu masyarakat yang
mempunyai kemandirian dan terbatas dari hegemoni state ( Justinus
Prastowo, 2009).
Civil society merupakan realita
individual yang meni nggalkan ikatan keluarga dan memasuki persaingan ekonmomi
yang dikontrakan dengan negara (state) atau disebut sebagai masyarakat politik.
(Sasson dan Anne Showstack (1983)).
BAB III
PEMBAHASAN
1.1
DEMOKRASI
Dalam
demokrasi terdapat beberapa komponen di dalamnya antara lain yang diuraikan
pada sub bab berikut:
1.
Prinsip-Prinsip Demokrasi
Setiap rakyat Indonesia mendambakan
adanya upaya perbaikan tatanan kehidupan berbangsa dan bernengara dari kultur
keordebaruan. Salah satu diantara ideologi reformasi yang dikedepankannya,
yaitu pentingnya proses demokratisasi. Namun demikian, tidak banyak pihak yang
memahami pengertian dan prinsip-prinsip
dasar demokrasi.
Secara
historis, demokrasi telah tumbuh sejak zaman Yunani kuno, yaitu pada masa
Negara kota (city state) di Athena sekitar abad ke-6 sampai abad ke-3 sebelum
masehi. Dalam sejarah dikenal bahwa Negara kota (city state) Athena Kuno sebagai Negara demokrasi pertama di dunia
yang mampu menjalankan demokrasi langsung dengan majelis sekitar 5.000-6.000
orang berkumpul secara fisik.
Oleh
karena itu, untuk memahami makna demokrasi harus ditelusuri dari sejarah
konsepnya itu sendiri. Secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani,
yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “kratos atau kratein” yang berarti
kekuasaan atau berkuasa. Secara sederhana, banyak kalangan yang menyatakan
bahwa demokrasi diartikan “rakyat berkuasa” atau government or rule by the people (pemerintah oleh rakyat).
Demokrasi berarti pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, baik secara langung
maupun tidak langsung (melalui perwakilan) setelah adanya proses pemilihan umum
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dalam bahasa yang
populerAbraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah “the government from the people, by the people, and for the people” yang
artinya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Menurut
Alamudi demokrasi sesungguhnya bukan hanya sekedar seperangkat gagasan dan
prinsip tentang kebebasan, tetapi juga menyangkut seperangkat praktik dan
prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku
sehingga demokrasi disebut suatu pelembagaan dari kebebabsan. Nilai terpenting
laindrai demokrasi adalah persamaan. Hemat kata, soko guru demokrasi adalah
persamaan dan kebebasan.
Secara
rinci, Alamudi mengatakan bahwa demokrasi menganut prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1. Kedaulatan rakyat,
2. pemerintahan berdasarkan persetujan dari
yang diperintah’
3. kekuasaan mayoritas,
4. Hak-hak minoritas,
5. Jaminan hak asasi manusia,
6. Pemilihan yang bebas dan jujur,
7. Persamaan di depan hokum,
8. Proses hukum yang wajar,
9. Pembatasan pemerintah secara
konstitusional,
10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik,
11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja
sama, dan mufakat.
Menurut Inu Kencana prinsip-prinsip demokrasi sebagai
berikut:
1. Adanya pembagian kekuasaan;
2. Adanya pemilu yang bebas;
3. Adanya manajemen pemerintahan yang
terbuka;
4. Adanya kebebasan individu;
5. Adanya peradilan yang bebas adanya
pengakuan hak minoritas;
6. Adanya pemerintahan yang berdasarkan
hokum;
7. Adanya pers yang bebas;
8. Adanya multi partai politik;
9. Adanya musyawarah;
10. Adanya persetujuan parlemen;
11. Adanya pemerintah yang konstitusional;
12. Adanya ketentuan pendukung tentang system
demokrasi;
13. Adanya perlindungan Hak Asasi Manusia;
14. Adanya pemerintah yang bersih (clean and good government);
15. Adanya persaingan keahlian (profesionalitas);
16. Adanya mekanisme politik;
17. Adanya kebijakan Negara yang berkeadilan;
18. Adanya pemerintahan yang bertanggung jawab
Adapun A.V. Dicey dalam Mirriam
Budiardjo (2018:113) mengidentifikasi unsur-unsur rule of law dalam demokrasi konstitusionil menjadi tiga yaitu:
1.
Supremasi
aturan-aturan hukum (supremacy of the
law), tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitay power) artinya seseorang hanya boleh dihukum
kalau melanggar hokum,
2.
Kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law) baik untuk
pejabat maupun rakyat biasa, dan
3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh
undang-undang.
Sementara itu, Roert A. Dahl (Mirriam
Budiardjo, 2008:113-114) menyatakan bahwa demokrasi memiliki 7 (tujuh) ciri
hakiki, yaitu:
1. Pejabat yang dipilih,
2. Pemilihan yang bebas dan fair,
3. Hak pilih yang mencakup semua,
4. Hak untuk menjadi calon suatu jabatan,
5. Kebebasan pengungkapan diri secara lisan dan
tertulis,
6. Informasi alternatif, dan
7. Kebebasan membentuk asosiasi.
Kemudian Affan Gaffar mengungkapkan 5
(lima) ciri pokok demokrasi, yaitu:
1. Akuntabilitas,
2. Rotasi kekuasaan,
3. Rekruitmen politik yang terbuka,
4. Peimilihan umum,
5. Menikmati hak-hak dasar.
Pengembangan kekuatan masyarakat
dalam mewujudkan demokrasi dalam domain politik dapat dilakukan, misalnya
dengan menempatkan kembali perwira-perwira militer yang ikut serta dalam
persoalan sosial-politik yang semestinya dilakukan oleh kelompok sipil, pembentukan
system kepartaian yang mendukung terhadap berkembang dan berdayanya system
politik dan kepemerintahan guna berwujudnya pertanggungjawaban dan
pertanggunggugatan (politik) pada masyarakat, dibuatnya mekanisme sirkulasi
elite melalui kontak politik dalam system pemilihan umum yag jujur dan adil;
membuka kran-kran partisipasi publik yang seluas mungkin agar tuntutan dan
dukungan warga dapat terartikulasi dan teragregasi secara optimal,
dikembangkannya pelembagaan konflik yang dialogis, selain itu, mulai
dikembangkannya otonomi partisipasi yang (mungkin) selama ini selalu di
mobilisasi, penguatan supremasi hukum; pemberdayaan checks and-balances antar
lembaga pemerintahan termasuk didalamnya mekanisme control dan seterusnya. Pada
konteks pengembangan kekuatan masyarakat dalam mewujudkan demokratisasi, asumsi
yang dibangun ialah: terjadi perubahan atau pergeseran yang amat drastic dari
state centered development menuju society centered development atau sering pula
diisilahkan dengan people centered development.
Samuel P. Huntington (1993) seorang
pakar politik yang meneliti demokrasi secara seksama dan mendalam, pernah
berargumentasi dalam bahwa dibanyak Negara berkembang masyarakat justru semakin
kehialngan kekuatannya ketika demokratisasi itu dijalankan dengan serampangan.
Bahkan lembaga-lembag pendukung suatu pemerintahan yang dalam hal ini berarti
kekuatan-kekuatan masyarakat sendiri tidak mampu memaksa pemerintahanya untuk
tunduk terhadap kepentingan warga masyarakat. Oleh karena itu, asumsi teori modernisasi
yang menyatakan bahwa Negara hanyalah pelaksana dari keinginan
sosial-ekonomi-politik mayoritas warganya tidak selamanya benar.
Menurut Pricles, demokrasi mengadung
beberapa kriteria penting yaitu:
1.
Pemerintahan
oleh rakyat yang dibangun dari dukungan atau partisipasi rakyat yang mayoritas
secara langsung,
2.
Kesamaan
warga negara di depan hukum,
3.
Penghargaan
terhadap wilayah privat (pemenuhan hak asasi manusia, dalam konteks kekinian)
untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual, serta
4.
Pluralism.
(Mirriam
Budiardjo, 2008)
Komplikasi
antara keadulatan rakyat dan kebaikan bersama pertama-tama dapat ditemui dalam The Republic karya Plato. Dalam buku
tersebut Plato menggambarkan bagaimana demokrasi dipenuhi oleh keinginan
bersama yang dapatsaja bersifat konfliktual dan mengancam pembangunan politik
yang berkualitas dan beradab.
Menurut
Aristoteles terdapat 6 (enam) system pemerintahan yang terbagi menjadi dua
kutub, yakni:Negara/pemerintahan baik dan Negara/ pemerintahan buruk. Kebaikan
dan keburukan Negara/pemerintahan didasar atas sanggup atau tidaknya
negar/pemerintahan mencapai tujuan-tujuan Negara sendiri. Tidak hanya itu,
Aristoteles juga mengerucutkan system-sistem keperintahan terseut menjadi
pemerinahan yang dikuasai oleh satu orang, oleh sedikit orang, dan terakhir , oleh banyak orang.
Dengan
demikian Aristoteles menyatakan bahwa : ada Negara/ pemerintahan baik (good state) yang dipimpi oleh satu orang dengan istilah monarki, ada Negara/
pemerintahan baik yang dipimpin oleh sedikit orang yang kemudian disebutnya
dengan aristokrasi, dan ada pula Negara/pemerintahan baik yang dipimpin oleh
banyak orang yang diistilahkan sebagai polity (dalam lain kesempatan , misalnya
pada bukunya Nicomachean ethics Aristoteles
menghindari istilah polity yang samar-samar mengacu bahwa system politik yang
baik adalah timkrasi, yang bermakna kekuasaan dipegang oleh oarng yang memiliki
property (timema) sendiri.
Disisi lain terdapat pula Negara/ pemerintahan yang buruk (bad state) yang dipimpin oleh satu orang yang disebut tirani, lantas ada pula Negara/ pemerintahan buruk yang dipimpin oleh sebagian orang yang diistilahkan dengan oligarki, dan terakhir ada Negara/ pemerintahan yang dipimpin oleh banyak orang yang disebut dengan istilah demokrasi.
Matriks Sistem Pemerintahan
Menurut Aristoteles
|
Pemerintah
Baik |
Pemerintah
Buruk |
Dipimpin
Satu Orang |
Monarki |
Tirani |
Dipimpin
Beberapa Orang |
Aristokrasi |
Oligarki |
Dipimpin
Orang Banyak |
Polity
(Timokrasi) |
Demokasi |
Mirriam Budiardjo (2008) mengatakan bahwa gagasan
demokrasi Yunaniboleh dikatakan menghilang dari muka Barat waktu bangsa Romawi,
yang sedikit banyak masih kenal kebudayaan Yunani , dikalahkan oleh suku bangsa
Eropa Barat memasuki abad pertengahan (600-1400). Pada abad pertenahan ini, ada
satu piagam yang dianggap Mirriam Budiardjo (2008) sebagai tonggak perkembangan
demokrasi, yaitu Magna Charta (1215). Kendati piagam ini muncul di zaman
feudal, namun piagam ini suda menunjukkan konsep ‘kontrak sosial’ antara pihak
penguasa (raja) dan bawahannya mengenai hak dan kewajiban. Setelah itu,
kemudian lahir pemikir-pemikir yang tak kalah seriusnya dalam membahas
pemikiran politik yang berkualitas dan beradab, mulai dari Thomas Hobbes
(1588-1679), John Locke (1632-1704), Motesquieu (1689-1755), hungga Jean
Jacques Rousseau (1712-1778).
2.
Perkembangan Pemikikiran tentang Demokrasi
Dalam konteks ini, akan dibahas
beberapa pemikiran pokok dari tokoh – tokoh yang muncul sebagai pemikir awal
demokrasi modern.
1.Thomas
Hobbes
a.
Konsep State of Nature Manusia
Thomas mengartikan manusia sebagai
makhluk yang mementingkan diri sendiri dan bersifat rasional. Oleh karena itu
secara alamiah manusia cenderung berkonflik dengan sesama.
b.
Negara dan kekuasaan
kekuatan mutlak atas warga negara yang dipersyaratkan
Hobbes pada akhirnya akan menumbuhkan kepatuhan total warga negara (absolute
obedience), sehingga berujung pada kewibawaan negara. Menurutnya, monarki
absolut dianggap berakar pada otoritas paternal tiruan dari civitate dei yang
tunggal.
2.
John Locke
a.
Sedikit tentang Locke dan State of Nature
Pandangan orisnal Locke yang relevan
mengenai ini keadaan alamiah manusia, yaitu; bahwa keadaan alamiah manusia pada
dasarnya adalah baik. Pada dasarnya manusia berada dalam kondisi bebas sama sekali dan berkedudukan sama.
b.
Negara dan Kekuasaan
John locke mengatakan bahwa
pemerintah ditetapkan berdasarkan persetujuan yang diperintah. Dengan menaati
hukum yang ditetapkan pemerintah, sesungguhnya warga masyarakat berarti menaati
diri sendiri karena pemerintahan itu ditetapkan sesuai dengan persetujuan
masyarakat.
3.Montesquie
a. pembagian kekuasaan
Pemikiran
pokok dari Montesquieu adalah menyempurnakan pemikiran John Locke dengan
memperkenalkan lembaga yudikatif sebagai lembaga penghakim / pengadilan
kegiatan – kegiatan pemerintah dan rakyatnya, yang disebut Trias Politika.
b.
Filsafat Deterministik Geografi dan Bentuk Pemerintah
Filsafat
ini menjelaskan bahwa letak geografi menentukan kepemilikan atas sumberdaya alam
( air, mineral , laut, dan lainnya) dan karakter individu bahkan hingga bentuk rumah, pola bersosial dan lain – lain.
3.
Landasan Demokrasi
Landasan
Dasar Demokrasi Indonesia adalah sila keempat Pancasila. Mengenai silakeempat
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia, yaitu kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan/perwakilan dapat
diketahui dengan empat hal sebagai berikut:
a. Sila
kerakyatan sebagai bawaan dari persatuan dan kesatuan semua sila, mewujudkan penjelmaan dari tiga
sila yang mendahuluinya dan merupakan dasar daripada sila
yang kelima.
b. Di
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar, sila kerakyatan ditentukan penggunaannya
yaitu dijelmakan sebagai dasar politik Negara, bahwa Negara Indonesia adalah
negara berkedaulatan rakyat.
c. Pembukaan
Undang-undang Dasar merupakan pokok kaidah Negara yang fundamentil sehingga
dengan jalan hukum selama-lamanya tidak dapat diubah lagi, maka dasar politik
Negara berkedaulatan rakyat merupakan dasar mutlak Negara Indonesia.
d. Dasar
berkedaulatan rakyat dikatakan bahwa,”Berdasarkan kerakyatan dan dalam
permusyarawatan/perwakilan, oleh karena itu sistem negara yang nanti akan
terbentuk dalam Undang-undang dasar harus berdasar juga, atas kedaulatan rakyat
dan atas dasar permusyarawatan/perwakilan”. Sehingga Negara Indonesia adalah
mutlak suatu negara demokrasi, jadi untuk selama-lamanya.
Sila
ke-empat merupakan penjelmaan dalam dasar politik Negara, ialah Negara berkedaulatan
rakyat menjadi landasan mutlak daripada sifat demokrasi Negara Indonesia. Disebabkan
mempunyai dua dasar mutlak, maka sifat demokrasi Negara Indonesia adalah mutlak
pula, yaitu tidak dapat dirubah atau ditiadakan. Berkat sifat persatuan dan
kesatuan daripada Pancasila, sila ke-empat mengandung pula sila-sila lainnya,
sehingga kerakyatan dan sebagainya adalah kerakyatan yang berke-Tuhanan Yang
Maha Esa, Yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan
Indonesia dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apabila disederhanakan, maka akan didapat pengertian sebagai
berikut:
1. Bahwa
rakyat Indonesia itu harus dipimpin oleh satu orang kepala Negara (Presiden),
2. dengan
kriteria utama yaitu orang yang bijaksana dalam memimpin,
3. dan
di sila itu pula telah dijelaskan mekanisme pemilihannya yaitu dengan cara musyawarah
yang merupakan nilai luhur dari bangsa Indonesia,
4. dan
yang memilih itu adalah perwakilan rakyat disini jelas yaitu DPR dan DPD. Yang merupakan
perwakilan rakyat dan daerah.
Menurut
Henry B. Mayo dalam An Introductiom to Democratic Theory (1960) Demokrasi dilandaskan
kepada dua gagasan besar, yaitu :
-
Kedaulatan ditangan rakyat
-
Rakyat merupakan sumber kekuasaan
Dua
ide inilah yang menjadi asas bagi system demokrasi. Hasilnya, rakyat bertindak
sebagai pembuat hukum dalam kedudukannya sebagai pemilik kedaulatan, sekaligus sebagai
pelaksana hukum dalam kedudukannya sebagi sumber kekuasaan. Yang perlu
diperhatikan adalah, bahwa dengan perkembangan jumlah manusia yang luar biasa
pesat, akhirnya dibuatlah suatu system yang diberi nama demokrasi tidak langsung.
Sebagian orang “mewakili” sebagian yang lain untuk melaksanakan tugas- tugasnya.
Harus diingat, demokrasi adalah suatu system berdasarkan pada pemikiran “suara
mayoritas”. Sehingga apapun yang diingkan rakyat, disampaikan melalui perwakilan
rakyat di pemerintahan, sehingga apa yang disuarakan tersebut dapat direalisasikan
4.
Demorasi dan Civil
Society
Civil
society dan demokrasi merupakan dua entitas yang
korelatf dan saling berkaitan. Civil
society adalah terletak pada independensi terhadap negara. Dari sinilah
kemudian civil society dipahami
sebagai akar dan awal keterkaitannya dengan demokrasi dan demokratisasi.
Bagaikan dua sisi mata uang keduanya
bersifat ko-eksistensi.hanya dalam civil
society yang kuatlah demokrasi dalam dapat ditegakkan dengan baik dan hanya
dalam suasana demokratislah civil society
dapat dikembangkan secara wajar.
Menurut Nurcholis Madjid, civil society merupakan rumah persemaian
demokrasi.
Menurut Larry Diamond menyebutkan 6 (enam)
kontribusi civil society terhadap
proses demokrasi, antara lain:
1) Menyediakan wahana sumber daya
politik,ekonomi, kebudayaan dan moraluntuk mengawasi dan menjaga keseimbangan
negara
2) Pluralism dalam civil society, bila diorganisir akan menjadi dasr yang penting bagi
bagi persaingan demokratis.
3) Memperkaya partisipasi politik dan
meningkatkan kesadara kewarganegaraan
4) Menjaga stabilitas negara
5) Tempat menggembleng pimpinan politik
6) Menghalangi dominasi rezim otoriter.
3.2
CIVIL SOCIETY
Konsep civil society yang dikonotasikan sebagai masyarakat sipil,
merupakan konsep yang berkembang dalam tradisi pemikiran tradisi barat konsep
tersebut telah mengalami proses evolusi yang cukup panjang dan sempat dilupakan
tersebut bangkit dan mulai menjadi fokus
perhatian pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, terutama pada saat terjadi
gelombang demokratisasi di Eropa Timur. Terkait dengan konsep civil society, Cicero menyebutkan bahwa
masyarakat sipil sebagai masyarakat politik yang mempunyai kode hukum tertentu yang mengatur hidup bersama dan
pergaulan antar individu. Menurut Cicero, kondisi individu maupun masyarakat
secara keseluruhan yang memiliki budaya hidup kota dan menganut norma-norma
kesopanan tertentu (Adi Suryadi Cula, 2006:44). Dalam kehidupan kota, warga masyarakat
hidup dibawah hukum sipil (civil law) sebagai
dasar yang mengatur kehidupan bersama. Konsep
masyarakat sipil atau civil society memang
tidak dapat dipisahkan dari pemikiran tentang Negara-kota (city-state) Yunani Kuno (Adi Suryadi Cula, 2006:44). Namun demikian
terdapat perbedaan antara konsep masyarakat sipil menurut Cicero dengan konsep
yang dikemukakan oleh Aristoteles. Dalam menguraikan gagasannya tentang
masyarakat sipil, Aristoteles merujuk pada berlatar pandangan hidup warga
Yunani yang lebih mendasarkan pada pandangan warga Romawi yang sangat
menjunjung individualitas (Adi
Suryadi Cula, 2006:44)
1.
Perkembangan konsep Civil Society di Indonesia
Menurut Kutut Suwondo (2005) dilihat
dari sudut pandang sifat perkembangan bangsanya maka civil society di Indonesia dapat dikelompokkan kedalam 2(dua)
periodisasi perkembangan civil society yang
sebelum era reformasi. Dapat pula dikemukakan bahwa wacana tentang perkembangan
civil society di bawah ini tidak
hanya dilihat pada aras nasional namun juga aras local (Kutut Suwondo, 2005)
a.
Civil Society Sebelum Era Reformasi
Gambaran
perkembangan civil society di
Indonesia sebenarnya sudah dimulai pada saat munculnya Boedi Oetomo (1908), pada saat kaum priyayi
Jawa membentuk asosiasi sosial. Kemudian civil
society menemukan jaman kejayaanya pada saat sesudah merdeka yang dikenal
dengan jaman Demokrasi Parlementer. Kejayyaanya mengalami kemunduran dengan
munculnya Demokrasi Terpinpimnya di bawah Soekarno. Pada jaman itu Soekarno
menggunakan cara mobilisasi massa untuk menggalang legitimasi dan memberi cap
kontra revolusioner bagi para pengkritiknya (Hikam 1996; Ketut Suwondo, 2005).
Kutut
Suwondo menyatakan bahwa pada masa Orde baru (sampai pertengahan 1990-an) civil society tidak mengalami perkembangan
yang berarti. Hal tersebut antara lain disebabkan karena pendekatan yang
digunakan oleh negara dalam menjalin relasi dengan masyarakat sipil lebih
menggunakan pendekatan keamanan, dengan alasan stabilitas politik dan keamanan.
Pendekatan keamanan mengakibatkan terbitnya berbagai regulasi yang bersifat
represif yang menyebabkan ketidak berdayaan civil
society. Terbitnya sejumlah regulasi yang memperlemah posisi tawar
masyarakat, juga muncul berbagai rekayas politik yang memperlemah partai politik
yang kritis terhadap pemerintah.
Lemahnya
perkembangan civil society pada
periode diatas terletak pada munculnya sejumlah peraturan dan tindakan yang
bersifat menekan dan juaga disebabkan oleh hal-hal lain, antara lain:
1) Tidak adanya kelas menengah yang
independent;
2) Lemahnya LSM dalam memberdayakan civil society karena ketergantungannya
yang besar terhadap sumber dari luar;
3) Pers yang terus ditekan lewat ancaman
pencabutan SIUPP;
4) Cendekiawan yang mencari aman dan besarnya
gejala sectarian pada diri cendekiawan
5) Rakyat yang takut untuk mengembangkan
dirinya dalam berpolitik
Kemunduran civil society pada periode ini diperparah dengan munculnya budaya
yang tidak mendukung perkembangan civil
society antara lain munculnya:
1) Kebiasaan tidak berani bertanya;
2) Tidak berani mengeluarkan pandangan;
3) Tidak berani melakukan protes
Hal tersebut diatas terjadi dari
kalanagan masyarakat biasa sampai kaum intelektual. Demikian pula kebiasaan
untuk mengambil keputusan secara
aklamasi (tidak berani votting), mendukung “pembangunan” yang dipaksakan
dari atas, dan tidak adanya keberanian untuk membentuk kelompok sosial politik,
merupakan sebab tidak berkembangnya civil
society.
Dilihat dari sudut nilai civil
society yang menghendaki adanya partisipasi politik dan pertanggung jawaban
Negara jelas tidak ada, yang terjadi adalah pertanggung jawaban semu oleh
Presisden Soeharto kepada kelompok yang menyebutnya dirinya wakil rakyat namun
seagian besar justru diangkat dan mewakili kepentingan elite polititik
tertentu. Selain itu terjadi keterbatasan masyarakat untukmelakukan partisipasi
politik karena adanya keterbatasan jumlah partai dan adanya penerapan konsep
massa mengambang di pedesaaan.
Dilihat dari aspek institusi, civil society yang menghendaki adanya
kebebasan kelompok untuk membentuk asosiasi sosial juga tidak ada.
Dilihat dari aspek perlindungan dari civil society nampak jelas tidak adanya perlindungan bagi pelaku
civil society. Ras khawatir, takut dan tidak menentu selalu menghinggapi pelaku
civil society terutama karena ketatnya pendekatan keamanan
yang sering kali berubah menjadi tindakan penekanan, penculikan, bahkan
penghilangan manusia oleh negara.
b.
Civil Society Era Reformasi
Secara
nasional landasan munculnya civil society
pada era sesudah reformasi sudah memunjukkan arah yang benar walaupun belum
belum sempurna. Beberapa tanda kea rah itu menurut Ketut Suwondo (2005)
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Munculnya undang-undang pemilu yang
memberi kebebaan untuk membentuk partai politik dan tidak diberlakukannya
konsep massa mengmbang (float mass) sehingga rakya Indonesia memungkinkan
rakyat Indonesia melaksanakan salah satu nilai dari civil sociwty yaitu partisipasi politik secara bebas.
2. Terbentuknya forum repesentatitf (DPR,DPD
dan MPR) yang sebagian besar dipilih oleh rakyat dan adanya kebebasn untuk
membentuk asosiasi sosial sehingga rakyat dapat memenuhi institusi dari civil society yang berupa forum
repesentatif
3. Dengan telah diratifikasi HAM , semua
pelaku civil society memperoleh perlindungan
hokum.(walaupun hokum sendiri belum secara tuntas dapat ditegakkan).
4. Adanya politik nondiskriminasi yang
memberi kebebasan bagi bekas anggota PKI dan keturunannya untuk menjadi anggota
civil society
Dengan diamandemennya UUD 1945 merukan
mafestasi dari upaya untuk memberi makna dan penghargaan lebih terhadap
kedaulatan rakyat dan pengakuan hak-hak warga negara. Bentuk pengakuan terhadap
hak dan kedaulatan warga negara antara lain diimplementasikan melalui kebebasan
berpolitik, membentuk asosiasi sosial, dan adanay perlindungan hokum untuk
melaksanakan civil society bagi
seluruh warga masyarakat.
Namun demikian perkembangan civil society tak selamanya berjalan menunjukkan perkembangan
yang menggembirakn, disalah satu sisi yang kebebasan yang sering disalah
artikan oleh kelompok masyarakat tertentu untuk menekan kelompok masyarakat
yang lain.
Walaupun gambaran yang menggembirakan
seperti yang terurai diatas menujukkan bahwa dominasi negara (pemerintah) telah
jauh berkurang, namun demikian sering kali dijumpai hal yang tidak
menggembirakan dari kebebasan dalam civil
society antara lain:
1. Kebebasan individu dilindungi dan terjadi
pertarungan bebas yang tidak seimbang.
2. Munculnya sisi gelap manusia (kekerasan,
penjarahan, kerusuhan dan pembunuhan)
Pada periode ini civil society dapat
dikatakan ‘keblabasen’, kebebasan
yang hanya untuk memenuhi kepuasan sesaat tanpa mengindahkan penghargaan
terhadap HAM, kerukunan dan kepatuhan terhadap hokum sehingga memunculkan
kelemahan yaitu:
1. Tidak adanya kesadaran akan munculnya sisi
gelap dari sifat manusia, tidak demokratis, tidak adi, dan tidak manusiawi yang
dapat menyebabkan munculnya tindak kekerasan, pelanggaran terhadap HAM oleh
individu atau kelompok dan maraknya tindak kerusuhan dan penjarahan.
2. Adanya kebebasan penuh individual,
kelompok dan institusi yang dapat memuncukan dominasi masyarakat tertentu (kedaerahan,suku
dan agama)
Dengan demikian maka perkembangan civil society menitik beratkan pada aspek kebebasan individu
atau kebebasan kelompok. Karena hal tersebut maka akan terbentuk demokrasi yang
bersifat anarkis dan lebih mengandalkan diri kepada bentuk kekuatan fisik.
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Civil
Society
Perkembangan civil society setiap negara berbeda, hal tersebut menunjukkan bahwa
civil society sebagai alat pejuangkan kepentingan publik sanagat
dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu:
A.
Budaya politik
Budaya politik suatu bangsa merupakan
keseluruhan cara pikir yang dimiliki dan disebarkan oleh suatu bangsa menegenai
politik dan pemerintahannya.
Salah satu aspek budaya politik
adalah adanya peraturan perundang undangan sebagai representative dari
norma-norma yang ditetapkan oleh suatu negara yang dapat mempengaruhi
spikologis suatu negara untuk mengelola konflik.
Undang-undang atau kebijakan
pemerintah berpeluang melibatkan masyarakat bahkan menekan keterlibatan pihak
luar negara untuk melakukan perannya dalam sebuah system politik
A.
Tingkatan kesatuan dalam civil society
Menurut Budiman Sujatmiko dalam Eddi Wibowo dan Hessel
N. Tangkilisan(2004:39), kesatuan kohevisitas atau solidaritas erat kaittannya
dengan komponen civil society yang
harus dikembangkan sebagai penguat. Berkaitan dengan hal tersebut, tumbuhnya
kohevisitas dan solidaritas dalam civil
society dipengaruhi bebagai aspek,
yaitu:
a. Kesamaan visi dan misi komponen civil
society
b. Jaringan kerja
c. Partisipasi
B.
Dukungan dana luar negeri
Dukungan dana luar negeri merupakan
salah satu faktor yang meningkatkan kemampuan organisasional kelompok penerima
donor. Bantuan memiliki peran penting dalam infastrutur organisasi selain itu
juga berperan mendanai konferensi. Bantuan dari luar negeri akan sangat bernilai ketika sebuah sector atau kelompok masyarakat
sedang dalam posisi berjuang melawan arus arus yang menyebabkan kekacauan
politik,sosial, maupun ekonimi.
3.
Karakteristik civil
society
Penyebutan karakteristik civil society dimaksudkan untuk
menjelaskan bahwa dalam merealiasikan civil society diperlukan
prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai universal dalam civil society, prasyarat tersebut antara lain:
a.
Free public sphere
Yang
dimaksud dengan free public sphere adalah
adanya ruang public yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat.
Sebagai prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan civil society dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free public sphere menjadi salah satu
bagian yang harus diperhatikan
b.
Demokratis
Demokratis merupakn satu entitas yang
menjadi penegak wacana civil society, dimana
dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk
menjalankan aktivitas kesehariannya,termasuk dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Demokrasi berarti masyarakat dapar berlaku santun dalam pola
hubungan interaksi dengan masyarakat sekitardengan tidak mempertimbangkan ras,
suku dan agama. Penekanan demokrasi disini dapat mencakup sebagai bentuk aspek
kehidupan seperti politik, sosial, budaya pendidikan,ekonomi dan sebagainnya.
c.
Toleran
Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan
dalam civil society untuk menunjukkan
sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakuakan oleh orang
lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk
menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh
kelompok masyarakat lain yang berbeda.
d.
Pluralisme
Sebagai sebuah prasyarat penegakkan civil society, maka pluralism harus
dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang
menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Menurut Nicholas Madjid, konsep
pluralism ini merupakan prasyarat bagi tegaknya civil society. Pluralism menurutnya adalah pertalian sejati
kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine
engagement of diversities within the bond of civility).
e. Keadilan
sosial (social justice)
Keadilan
dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proposional
terhadap hak dan kewajiban setiap warga
negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Secara esensial masyarakat
memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah (penguasa)
4.
Civil Society dan Pembangunan Politik
Peningkatan
kualitas masyarakat menuju masyarakat demokratis membutuhkan ada pendidikan
politik terhadap masyarakat secara tepat. Proses pendidikan politik atau
disebut pula pembangunan politik tidak cukup hanya mengendalkan agenda politik
dari kalangan elit. Pembangunan politik memang bukan hanya jerih parah elite
politik semata, tetapi hasil dari patisipasi masyarakat sipil sebagai agen
perubah.
Simpul
pemikiran ini merujuk pada kenyataan bahwa dengan tersedianya masyarkat sipil yang dinamis , mampu
menjadi penagih janji yang baik beroposisi secara loyal terhadap pemerintah,
serta melakukan konsolidasi demokrasi sesuai dengan peran dan fungsinya masing
– masing, maka pembangunan politik yang bertujuan untuk memperkaya khazanah
kehidupan kepolitikan ke arah yang lebih demokratis menjadi hal yang lumrah.
Ada
banyak cara yang dapat dilakukan masyarakat sipil dalam mendukung konsolidasi
demokrasi, yaitu:
-
Menyediakan
basis pembatas atas keuangan negara
-
Melengkapi
peran partai – partai politik.
-
Meningkatkan
agenda partai politik public.
-
Meningkatkan
efektifitas dan keterampilan waspada dalam berdemokrasi.
-
Mendorong
pemahaman terhadap kewajiban kewajiban di samping hak dan akses terhadap
informasi.
-
5.
Civil Society Sebagai Prasyarat Demokasi
Salah
satu prasyarat terbentuknya suatu tatanan kehidupan politik yang
demokratis adalah tersedianya kondisi dimana terdapat perimbangan kekuasaan
antara entitas negara dan civil society. Dalam kondisi yang demikian diandakan
adanya jaminan negara terhadap hak-hak sipil warga negara.
Sehingga dengan adanya jaminan
tersebut warga negara dapat melakukan kontrol terhadap perilaku negara dan mengurangi intervensi
negara yang terlalu berlebihan terhadap kehidupan warga negara , kondisi
tersebut menjamin proses politik yang relatif berimbang antara negara dan warga
negara, melalui pemilu yang bebas , pertanggung jawaban publik yang transparan,
komunikasi polkitik yang tidak terdistorsi dan partisipasi politik aktif dari
warga negara.
Dalam tatanan otoriter, terdapat
kecenderungan dimana entitas negara cenderung lebihkuat daripada entitas
masyarakat. Otoriterisme negara yang
eksistensinya ditunjukkan dengan dominasi, koersi, dan hegemoni digunakan
menegndalikan masyarakat agar patuh terhadap segala inisiatif yang datang dari
nrgara. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat dalam suatu tatanan yang otoriter akan selalu
berada dalam kondisi yang tidak otonom dan selalu rentan terhadap intervensi
negara.
6. Pilar
Penegak Civil Society
Yang dimaksud dengan pilar penegak civil society adalah institusi
–institusi yang menjadi kontrol yang berfungsi mengkritisi kebijakan penguasa
yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang
tertindas. Pilar-pilar tersebut yaitu:
1) Lembaga Swadaya Masyarakat
2) Pers
3) Supremasi Hukum
4) Perguruan Tinggi
5) Partai politik
BAB IV
PENUTUP
4.1
KESIMPULAN
Menurut penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa demokrasi dan civil society memiliki keterkaitan yang sangat
erat dalam kebebasan berpendapat dan mengeluarkan aspirasi dalam kehidupan
bernegara yang mengutamakn demokasi bagi setiap warga negaranya.
Demokrasi merupakan bentuk
pemerintahan dimana formulasi kebijakan, secara langsung atau tidak langsung
ditentukan oleh suara terbanyak dari warga masyarakat yang memiliki hak memilih
dan dipilih, melalui wadah pembentukan suaranya dalam keadaan bebas dan tanpa
paksaan.
Landasan
Dasar Demokrasi Indonesia adalah sila keempat Pancasila dan undang undang dasar
negara Repubik Indonesia.
Civil
society merupakan realita individual yang meniggalkan ikatan keluarga dan
memasuki persaingan ekonmomi yang dikontrakan dengan negara (state) atau
disebut sebagai masyarakat politik.
4.2
SARAN
Setelah mengetahui demokrasi dan civil society yang telah dipaparkan dalam pembahasan dapat
dijadikan rambu-rambu maupun batas tindakan dalam civil society dan berdemokrasi dengan tetap menghargai dan
menghormati hak setiap individu lain.
DAFTAR PUSTAKA
Adzkiyak.2014.Civil Society: Pemikiran Kaum Pergerakan Menuju Jalan Baru.Yogyakarta:
Graha Ilmu
Hadiwiyono, Suryo Sakti.2012. Negara, Demokrasi dan Civil Society.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Puslit IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.2000.Pendidikan kewrganegaraan:
Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press
Komentar
Posting Komentar