MAKALAH MAQASYID ASH-SYARIAH

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.          Latar Belakang

Islam diturunkan ke bumi dilengkapi dengan jalan kehidupan yang baik (syari’ah) yang diperuntukkan untuk manusia, yaitu berupa nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam makna yang konkret yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara kolektif kemasyarakatan (sosial).

Syariah, menurut para ahli adalah sebuah jalan yang ditetapkan Allah dimana manusia harus mengerahkan hidupnya untuk mengalisir kehendak Allah sebagai kehendak Allah sebagai syari’ (pembuat syari’ah) yang menyangkut seluruh tingkah laku, baik secara fisik, mental maupun spiritual. Terutama dalam transaksi hukum dan sosial serta semua tingkah laku pribadi, dalam arti prinsip keseluruhan cara hidup yang komprehensif. Kehendak Allah(Tuhan) yag dimaksud adalah maksud Syariah (tujuan hukum), berupa dalil-dalil Al Quran dan Sunah Rasul. Untuk me.ncapai Maqashid asy Syariah diperlukan perangkat untuk menganalisis setiap perbuatan hukum yang dilakukan mukallaf dalam kehidupan pribadi dan sosialnya. Sehingga, apa yang dikehendaki syariah dalam mengatur hablun minallah dan hablun minannas bisa tercapai dalam rangka mencapai kemaslahatan umum. Itulah sebabnya Maqashid syariah dipandang urgent untuk dikaji secara intens oleh para pengkaji dan pemerhati masalah fiqh dan ushul fiqh khususnya di kalangan akademisi muslim.

Pada bahasan kali ini akan dibahas berbagai macam hl yang berhubungan dengan Maqashid Asy-Syariah, baik mengenai pengertian, tujuan, pembagian, dan urgensinya dengan hukum islam itu sendiri.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan Maqashid Syariah?

2.      Apa tujuan dari Maqashid Syariah?

3.      Bagaimana pembagian Maqashid Syariah?

4.      Apa Urgensi Maqashid Syariah dengan Ijtihad Hukum Islam?

 

C.     Tujuan

1.      Untuk mengetahui maksud Maqashid Syariah

2.      Untuk mengetahui tujuan Maqashid Syariah

3.      Untuk mengetahui pembagian Maqashid Syariah

4.      Untuk mengetahui Urgensi Maqashid syariah dengan Ijtihad Hukum Islam

 

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN DAN DASAR MAQASHID ASY-SYARIAH

Secara bahasa, maqasid syari’ah berasal dari dua kata, yaitu maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk jamak dari maqsud yang berarti kesenjangan atau tujuan, sedangkan syari’ah secara bahasa artinya jalan menuju sumber air, yang juga bisa diartikan jalan menuju sumber kehidupan. Dengan demikian maqasid syari’ah secara etimologis adalah tujuan penetapan syari’ah. Pengertian ini dilandasi asumsi bahwa penetapan syari’ah memiliki tujuan tertentu oleh Pembuatnya (Syari’). Tujuan penetapan itu diyakini adalah untuk kemaslahatan manusia sebagai sasaran syari’ah. Tidak ada hukum yang ditetapkan baik dalam Al-Qur’an maupun hadis melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.

Penekanan maqasid syari’ah bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat al Qur’an yang menunjukkan bahwa hukum-hukum Allah mengandung kemaslahatan. Diantaranya yang memiliki arti yaitu:

“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya” (21):107).

“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu Berkata (kepada penduduk Mekah): “Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati”, niscaya orang-orang kafir itu akan berkata: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata” (QS. Hud (11):7).

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS> Az-Zariyat (51):56).

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tnanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur” (QS. AL-Maidah (5):6).

“Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaanya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Ankabut (29):45).

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa” (QS. Al-Baqarah (2):179).

Gagasan maqasid syari’ah pertama kali dikemukakan oleh Imam Al-Juwaini (al-Haramain) yang kemudian dikembangkan oleh Al-Ghazali dalam kitab usul fiqhnya, Al-Mustasyfa oleh Asy-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Usul as-Syari’ah. Konsep ini juga menjadi bagian kajian dari filsafat hukum Islam.

 

B.     TUJUAN MAQASHID ASY-SYARIAH

Tujuan hukum harus ditemukan untuk mengetahui apakah suatu kasus masih relevan ditetapkan dengan ketentuan hukum yang sudah ada ketika terjadi perubahan struktur sosial. Konsep maqasid syari’ah bertujuan untuk menegakkan kemaslahatan sebagai unsur pokok tujuan hukum. Kedudukannya adalah sebagai metode pengembangan nilai-nilai yang tergantung dalam syari’ah dan menjadi jiwa hukum Islam dalam menghadapi perubahan sosial. Oleh karena itu konsep ini sangat penting untuk menjadi alat analisis mengistibatkan hukum dengan melihat realitas sosial yang terus berkembang. Dengan demikian dapat dilihat dinamika dan pengembangan hukum berdasarkan nilai filosfis dari hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Tuhan kepada manusia.

Imam As-Syatibi membagi empat aspek maqasid syari’ah, yaitu:

1.      Tujuan utama syariah adalah mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.

2.      Syariah adalah sesuatu yang harus dipahami manusia.

3.      Syariah adalah sesuatu hukum taklify yang harus dilakukan.

4.      Tujuan syariah adalah membawa manusia ke dalam naungan dan pelindungan hukum.

Konsep maqasid syari’ah dapat menjadi metode dalam pengembangan hukum Islam agar adaptif terhadap perubahan sosial. Prinsip-prinsip dalam maqasid syari’ah ditujukan untuk membangun hukum yang mengedepankan sisi humanis manusia sebagai subyek sekaligus obyek hukum. Konsep ini dapat menjadi alat analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang tidak ditemukan secara jelas dimensi kemaslahatannya,  dengan cara melihat ruh syari’ah dan tujuan umum dari agama Islam. Dalam implemmentasinya perlu diupayakan pemanfaatan ilmu-ilmu lain sebagai alat analisis dan pendekatan dalam memahami permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.

Kajian dalam maqasid syari’ah menitik beratkan pada pencarian nilai-nilai yang berupa kemaslahatan manusia dalam setiap taklif yang diturunkan Allah. Setiap taklif diciptakan oleh Syari’ dalam rangka merealisasikan kemaslahatan hamba. Tidak satupun dari hukum Allah yang tidak memiliki tujuan. Secara hakiki tujuan taklif dalam hukum Islam adalah kemaslahatan, sehingga setiap hukum yang disyari’atkan dalam Al-Qur’an maupun sunnah  terdapat kemaslahatan di dalamnya. Melalui maqasid syari’ah akan dapat dibangun sebuah hukum yang berfungsi social engineering, dengan melihat konteks kehidupan masyarakat pada hukum tersebut diterapkan.

Konsep maqasid syari’ah juga berfungsi mendekatkan nas-nas Syari’ ke dalam kehidupan nyata, dalam arti membumikan syari’at Islam. Aturan-aturan dalam syari’at Islam perlu ditemukan kemaslahatannya sewaktu diwahyukan, untuk kemudian dianalogikan dengan konteks masyarakat sekarang. Sehingga adaptasi wahyu ke dalam realitas sosial terjadi secara inkulturatif. Wahyu tetap berkedudukan sebagai guide yang universal sehingga tidak ada kesan penundukan wahyu terhadap kepentingan sosial masyarakat.

Dalam menetapkan maqasid syari’at suatu hukum, ulama terbagi menjadi empat kelompok, yaitu:

1.      Kelompok Zahiriyah, berpendapat bahwa maqasid syari’ah adalah sesuatu yang abstrak, tidak dapat diketahui kecuali melalui zahir teksnya. Maka penetapan maqasid syari’ahadalah menurut makna lahir sehingga tidak memerlukan penelitian lebih dalam.

2.      Kelompok Batiniyah, berpendapatbahwa maqasid syari’ah dapat ditetapkan melalui sesuatu yang ada dibalik zahir lafal dan terdapat dalam semua aspek syari’ah, sehingga zahir lafal tidak dapat dijadikan pegangan dalam penentuannya.

3.      Kelompok Muta’ammiqin Fil Qiyas, berkeyakinan bahwa maqasid syari’ah dikaitkan dengan pengertian-pengertian lafal, tetapi zahir lafal tidak mesti mengandung tujuan mutlak. Jika terjadi pertentangan antara zahir lafal dengan ra’y, maka yang dimenangkan adalah ra’yunya.

4.      Kelompok Rasikhun, menyatakan bahwa maqasid syari’ah dapat ditetapkan melalui zahir lafal dan ra’y dalam bentuk yang tidak merusak pengertian zahir lafal dan kandungan maknanya, agar syari’ah tetap berjalan harmonis tanpa kontradiksi

 

C. PEMBAGIAN MAQASHID ASY-SYARIAH

1.      Maslhah Daruriyat

            Daruriyat artinya kebutuhan yang mendesak, pokok, dan harus terpenuhi. kebutuhan daruriyat dianggap esensial sehingga jika kalau tidak terpenuhi akan terjadi kekacauan secara menyeluruh. Menurut Hallaq, daruriyat mengandung dua pengertian: pertama, kebutuhan itu harus diwujudkan atau diperjuangkan, kedua, segala hal yang dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan tersebut harus disingkirkan. Menurut Asy-Syatibi yang termasukkategori daruriyat adalah lima perkara yang harus mendapat prioritas perlindungan, yaitu: agama (al-din), jiwa (al-nafs), akal (al-‘aql), harta (al-mal) dan keturunan (al-nasl). Berikut akan dijelaskan mengenai kelima perkara tersebut.[1]

a.      Memelihara Agama

Agama adalah kebutuhan mutlak manusia, sehingga mendapatkan prioritas utama untuk dijaga kelestarian dan keselamatannya. menjaga kesucian dan kemurnian agama termasuk sikap yang terpuji. caranya adalah dengan menjalankan agama secara benar, yaitu dengan didasari akidah yang lurus, ibadah yang tulus, dan perilaku mulia. dalam islan, ibadah-ibadah yang dianggap  pokok dan lurus dilaksanakn adalah rukun Islam. banyak ayat-ayat Alquran yang menjelaskan tentag kewajiban0kewajiban melaksanaka ibadah yang termasuk dalam rukun Islam tersebut. Kewajiban beribadah dalam rangka untuk pemeliharaan agama ditujukan mencapai kemaslhatan kehidupan, karena ajaran agama bertujuan membimbing manusia ke jalan yang lurus.

b.      Keselamatan Jiwa

Keselamatan jiwa juga termasuk kebutuhan pokok manusia, sehingga manusia harus menjaga kelangsungan kehidupannya. maka segala hal yang dianggap sebagai sarana untuk menyelamatkan jiwa adalah wajib. misalnya makan dan minum untuk menjaga kehidupan, tidak boleh membunuh manusia, dan sebagainya.

Beberapa surat yang menerangkan untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum dalam Alquran yaitu :

-   QS.Al-Maidah(5):88

 “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.

-   QS.Al-A’raf(7):31

 “Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.

lalu surat Alquran yang menerangkan janganlah membunuh yaitu

-   QS.Al-Isra(17):33

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.

Dengan demikian kewajiban pemeliharaan jiwa ditujukan untuk menjaga eksistensi manusia dan terciptanya keamanan, ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat. inilah tujuan yang dikehendaki syariat Islam.

 

c.         Memelihara Akal

Akal adalah bagian penting dari jasmani manusia, yang merupakan anugerah Allah. pemeliharaan terhadap akal adalah sebuah keharusan, karena dengan akalnya manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah di bumi ini. Dengan akalnya manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dapat berpikir tentang alam semesta di sekitarnya. Oleh karena itu penjagaan dan pemeliharaan terhadap fungsi akal adalah kebutuhan yang daruri bagi manusia.segala hal yang mendukung terhadap upaya pemeliharaan akal adalah diperintahkan, dan segala hal yang dapat merusak berfungsinya akal adalah dilarang. Pendidikan adalah bertujuan untuk pemeliharaan akal manusia, sehingga

 diwajibkan, sedangkan minum-minuman keras, mengkonsumsi narkoba yang berakibat rusaknya akal adalah diharamkan.

d.        Memelihara Harta

Harta dan kekayaan yang lain diperlukan manusia untuk menunjang kelangsungan hidupnya di dunia. menusia berkewajiban untuk selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara mencari harta. Dalam pencarian dan pengelolaan harta, Islam mengajarkan cara-cara yang baik dan benar agar harta terpelihara dan fungsional. maka manusia harus mencari harta dengan cara yang hak, dan menafkahinya sesuai dengan jalan yang dibenarkan oleh Tuhan. dari sinilah muncul aturan tentang kewajiban mencari nafkah,kewajiban sedekah, yang bertujuan agar manusia dapat mendapatkan harta secara hak. larangan mencuri, korupsi, perilaku boros atau konsumerisme, dan lain-lainnya juga di atur, karena perilaku-perilaku tersebut dianggap dapat menghambat pemenuhan kebutuhan terhadap upaya pemeliharaan harta.

 

e.         Memelihara Keturunan

Memelihara keturunan termasuk bagian dari kebutuhan primer manusia. keturunan inilah yang akan melanjutkan generasi manusia di muka bumi. Maka pengaturan tentang keturunan mutlak diperlukan, agar keturunan yang dihasilkan manusia nantinya dapat melanjutkan fungsi kekhalifahannya. Di sisi baik sebagai makhluk yang mulia, pemeliharaan keturunan juga mensyaratkan perilaku-perilaku mulia yang harus dilaksanakan manusia. Oleh karena itu Islam mengatur masalah pernikahan dengan sebagai persyaratan di dalamnya, Islam melarang perzinaan karena dianggap mengotori kemuliaan manusia. Dari sinilah bisa dipahami mengapa perkawinan itu diperintahkan dan perzinaan itu dilarang dalam Islam.

 

Pembahasan ini diakhiri dengan penjelasan sebuah hakikat penting bahwasanya sasaran Islam adalah dasar perundangan dan target moral yang paling luhur. Dasar yang bersifat moral ini berdasarkan kepada sikap menghormati kehidupan, melanggengkan kebaikan dan memusnahkan kejahatan. Dari dasar ini ditegaskan dua hal berkut.

Pertama, penegasan yang mendalam akan pekerjaan dan kehidupan. Penegasan ini menyimpulkan bahwa manusia harus bekerja demi menjaga agama, hidup, harta, keturunan, dan akalnya.

Kedua, target maksimal yang termasuk faktor yang bersifat moralitas. Apabila penegasan pertama merupakan inti kehidupan maka penegasan kedua ini merupakan inti agama. harta dan cara menghasilkannya dengan cara yang halal, serta menjaganya merupakan tujuan utama kehidupan.

Menjaga harta berhubungan dengan menjaga jiwa, karena harta akan menjaga jiwa agar jauh dari bencana dan mengupayakan kesempurnaan kehormatan jiwa tersebut. Menjaga jiwa menuntut adanya perlindungan dari segala bentuk penganiyaan, baik pembunuhan atau tindak melukai fisik.

Penjagaan jiwa harus didahulukan dari penjagaan hal lainnya. Namun, penjagaan untuk agama harus didahulukan daripada penjagaan untuk jiwa dan harta, yakni ketika berada dalam keadaan yang bahayanya dapat mengancam eksistensi masyarakat dan persatuan akidah mereka.

Menjaga keturunan merupakan penjagaan untuk kelanggenan spesies manusia, dan hal ini menuntut adanya sebuah pernikahan, juga larangan menganiaya amanat yang telah dititipkan Allah kepada manusia. Menjaga keturunan berarti mendidik dan membangun generasi berdasarkan rasa sayang, rasa cinta, mengasihi, tolong-menolong, membela negara, mencintai tanah air, menjaga kemuliaan, kehormatan, akal, dan agama. Menjaga agama merupakan prinsip dasar moral, dan membedakan agama dengan moral merupakan sikap menyimpang yang dibangun atas dasar pemikiran bahwa agama diwajibkan kepada manusia dari unsur luar, bahwa agama adalah kumpulan perintah, larangan, had dan kaffarat. Bahwa karakter manusia selamanya akan lari, untuk tidak menerima perintah dan larangan-larangan ini.

Agama pada intinya bekerja untuk menjaga kehidupan dengan segala unsurnya yang berbeda (harta-akal-kehormatan-jiwa). Manusia yang lari dari agama dan tidak menjaganya akan merasakan kehampaan. Prinsip yang disimpulkan dari pembahasan ini adalah prinsip religius, karena prinsip ini menjadikan agama sebagai salah satu nilai, sama nilainya dengan jiwa, harta, akal, atau keturunan. Artinya, agama merupakan bagian dan sumber dari prinsip tersebut, dan menjadikan agama sebagai salah satu nilai peradaban akan mempermudah persatuan keyakinan kehidupan manusia.[2]

 

2.      Hajiyyat (tujuan sekunder)

Hajiyyat, secara bahasa berarti kebutuhan, adalah aspek-aspek hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban yang teramat berat, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang.  Dimaksusdkan untuk untuk menghindaru kesulitan atau dapat memelihara tercapainya lima perkara dlaruriyyat dengan lebih baik. Jikat hajiyyat ini tidak diperhatikan, maka tidak sampai merusakkeberadaan lima hal pokok di atas, tetapi akan berdampak pada kesulitan manusia. [3]

Sebagai ilustrasi, Islam mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu dalam rangka menjaga yang primer, yakni menjaga akal. Dibutuhkanlah lembaga pendidikan atau fasilitas pendidikan berupa bangunan atau gedung. Tanpa bangunan sekolah, tujuan untuk melindungi akal melalui pendidikan tidaklah menyebabkan keruskan total, tetapi akan mengalami kesulitan. Karena untuk belajar bisa tanpa bangunan , bisa di lapangan , masjid atau alam terbuka, tetapi kehadiran bangunan sekolah sangat membantu proses penapaian tujuan menjaga akal.

Contoh lain misalnya pendirian masjid.  Sholat adalah kebutuhan daruri untuk menjaga agama (Hifz ad-din) dalam sholat dibutuhkan tempat yang kondusif sehingga orang dapat melaksanakannya secara khusyu’. Maka perlu dibangun sebuah masjid yang dapat dijadikan menjadi tempat sholat, sehingga dapat melaksanakan sholat dengan khusyu’. Tanpa masjid orang dapat melaksanakan sholat, dalam arti tidak terjadi masalah jika  sholat tidak dilakukan di masjid, namun dengan adanya masjid akan menyempurnakan sholat tersebut. [4]

3.      Maslahah Tahsiniyat

Secara bahasa tahsiniyat berarti hal-hal penyempurna. Dalam bahasan ini tahsiniyat didefinisikan sebagai hal-hal yang dapat menyempurnakan pemenuhan kebutuhan daruriyat dan hajiyat. Sifat dari tahsiniyat ini adalah menuju peningkatan martabat manusia, teutama faktor estetika. Kehadirannya akan memperindah dan ketidakhadirannya hanya akan mengurangi keindahan saja. Oleh karena itu kebutuha ini disebut juga kebutuhan tersier.

Sebagai contoh misalnya memperindah bangunan masjid, dengan dilengkapi sarana pendukung lain dan diperindah dengan ornamen-ornamenyang membuat suasana menjadi lebih estetis. Hal ini diperbolehkan selama dalam pelaksanaanya tidak memberatkan, artinya sesuai dengan batas kemampuan manusia. Meskipun bersifat tersier, faktor kemaslahatan tetap menjadi perimbangan utama, yang penting tidak bertentangan dengan nas. Pelaksanaan pemenuhan kebutuhan ini tidak boleh berlebih-lebihan.

Ketiga kemaslahatan tersebut memiliki kaitan yang erat satu sama lain terutama dari sisi fungsinya. Daruriyat menjadi prioritas utama,hajiyat melengkapi yang utama, dan tahsiniyat menyempurnakan pemenuhannya. Daruriyat berkedudukan sebagai dasar bagi perlunya hajiyat dan tahsiniyat.[5]

Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang dilaksanakannya sebelum sempurna .

Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan tersebut.[6]

D. URGENSI MAQASHID ASY-SYARIAH DENGAN IJTIHAD HUKUM ISLAM DEWASA  INI

1.      IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM

Secara bahasa ijtihad berasal dari kata “aljahidu” yang artinya upaya sungguh-sungguh. Kata ijtihad tidak boleh dipakai kecuali dalam persoalan yang memang berat dan sulit. Kata ijtihad harus dipakai dalam persoalan-persoalan yang sulit secara hissi (fisik) seperti suatu perjalanan. Atau persoalan-persoalan yang sulit secara ma’nawi (non fisik) seperti melakukan penelahaanteori ilmiah atau upaya mengistinbatkan hukum.dengan demikian jelaslah dalam artian bahasa ijtihad menunjukkan pada usaha yang sungguh-sungguh. Atas dasar ini, tidaklah tepat apabila kata ijtihad itu dipergunakan untuk melaukan sesuatu kegiatan yang ringan.[7]

            Dalam pengertian secara istilah, menurut al-Ghazali (w. 505 H) bahwa ijtiha secara umum adalah pengerahan kemampuan oleh mujtahid dalam mencari pengetahuan hukum syarak. Dalam  arti yang sempurna (al-tamm), pengertian ijtihad itu kata al-Ghazali, harus ditambah dengan pernyataan “perasaan kurang mampu untuk mencari tambahan kesempurnaan”.

            Mendekati objek ijtihad dalam arti luas ini, agaknya patut disimak pandangan Muhammad Musa al-Tiwan. Dalam salah satu karyanya, al-Tiwana membagi ijtihad itu ke dalam tiga obyek:

1.      Ijtihad dalam rangka memberi penjelasan dan penafsiran terhadap nas.

2.      Ijtihad dalam melakukan qiyas terhadap hukum-hukum yang telah ada dan telah disepakati.

3.      Ijtihad dalam arti penggunaan ra’yu.[8]

 

Dalam melakuakn ijtihad ada persyaratan-persyaratan yang harus ada dalam dari seorang mujtahid, persyaratan yang perlu dikemukakan dan dibahas disini adalah persyaratan keahlian. Para ulam pada umumnya menyebut syarat-syarat keahlian bagi mujtahid itu sebagai berikut :

a.       Pemahaman Terhadap Al-Qur,an

Kemampuan memahami al-Quran sebagai syarat bagi orang mujtahid dalam melakukan ijtihad, bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwa al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama hukum Islam. Dalam kaitan dengan kedudukannya sebagai sumber utama al-Syatibi mengatakan bahwa al-Quran adalah himpunan syariat, tiang agama, sumber hikmat, mukjizat kerasulan dan cahaya bagi mata kepala serta mata hati orang Islam. Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama itu ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an itu sendiri, surat an-Nisa ayat 59. Dikalangan islam ulama tidak terdapat perselisihan pendapat mengenai kedudukanal-Qur’an sumber utama hukum Islam. Perbedaan pandangan ulama itu hanya dalam memahami kandungan-kandungan al-Qur’an. Karena di samping ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum terdapat zanni al-dhalalah (tuntutan hukumnya yang tidak pasti), jumlah ayat hukum itu sendiri agak terbatas bila dibandingkan dengan permasalahan-permasalahan hukum yang tak terbatas dengan bentuknya yang ragam. Oleh karena itu untuk menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan bagi masalah-masalah  yang muncul, seorang mujtahid harus dapat memahami al-Qur’an secara baik dengan berbagai aspek yang terkait erat.

b.      Pemahaman Terhadap Sunnah

Penguasaan atau pemahaman terhadap sunnah sebagai syarat yang diperlukan bagi seseorang mujtahid bertolak dari suatu pandangan dengan keyakinan bahwa sunnah merupakan sumber kedua hukum Islam. Kedudukn dan fungsi sunnah terhadao al-Qur,an ini telah pula diuraikan pada bab ketiga, subbab syarat-syarat dalam memahami maqashid Asy-syariah. Hal-hal yang penting ditelaah berkaitan dengan sunnah sebagai persyaratan yang mutlak diperlukan bagi seseorang mujtahid adalah penguasaan beberapa segi sunnah itu sendiri.

c.       Kemampuan Berbahasa Arab

Syarat pertama (pemahaman al-Qur’an) dan syarat kedua (pemahaman Sunnah) bagi seorang mujtahid tidak mungkin dapat dicapai dan dimiliki dalam arti yang sesungguhnya apabila seorang mujtahid tidak memili alat untuk memahami kedua sumber tersebut. Alat yang dimaksud adalah kemampuan bahasa Arab. Kemampuan yang dimaksud bukanlah kemampuan bahasa lisan, akan tetapi kemampuan untuk dapat melakukan penelaahan sumber-sumber hukum islam. Menurut al-Ghazali, seorang mujtahid harus mengetahui apa yang berhubungan dengan kitab dan sunnah, memahami bentuk-bentuk pembicaraan serta hakikat maksudnya.dalam kaitan dengan krtinggian bahasa sebagai sumber hukum ntara lain tampak dalam isyarat bahasanya yang memiliki dimensi dalam muatan yang dikandunganya.[9]

 

2.      KAITAN IJTIHAD DENGAN MAQASHID ASY-SYARIAH DALAM PANDANGAN AL-SYATIBI

Pengertian ijtihad secara istilah dalam pandangan asy-syatibi adalah pengerahan kesungguhan dengan upaya yang optimal dalam menggalai hukum syarak. Menurut al-Syatibi, ijtihad itu dari segi proses kerjanya dapat dibagi kepada dua bentuk. Pertama ijtihad istibati; yaitu upaya untuk meneliti ‘illah yang dikandung oleh nas. Kedua, ijtihad tatbiqi, yaitu upaya meneliti suatu msalah dimana hukum hendak diidentifikasi dan diterapkan sesuai dengan ide yang dikandung nas.

Pembagian yang dilakukan oleh al-Syatibi ini dapat mempermudah untuk memahami mekanisme ijtihad. Dalam ijtihad istinbati, seorang mujtahid memfokuskan perhatiannya pada upaya penggalian ide-ide yang dikandung oleh nas yang abstrak. Sedangkan dalam ijtihad tatbiqi seorang mujtahid berupaya untuk menerapkan ide-ide yang abstrak tadi kepada permasalahan-permasalahanyang konkret. Jadi obyek kajian ijtihad istinbati adalah nas, sedangkan obyek kajian tatbiqi adalah manusia (sebagai pelaku hukum) dengan dinamika perubahan dan perkembangan yang dialaminya. Ijtihad tatbiqi dapat disebut sebagai upaya sosialisasi da penerapan ide-ide nas pada dataran kehidupan manusia, yang senantiasa berkembang dan berubah.

Apabila dipahami lebih jauh mekanisme ijtihad, tampak bahwa ijtihad istinbati mempunyai kaitan yang tak dapat dipisahkan dengan keharusan pemahaman maqashid asy-syariah. Karena ijtihad istinbati tersebt merupakan upaya menggali ide-ide hukum yang terkandung dalam nas al-Qur’an yang merupakan kitab al-syari’. Oleh sebab itu sebagaimana dikatakan sebelumna, antara ijtihad istibanti dan ijtihad tatbiqi mempunyai hubungan yang tidak saling memerlukan. Ini mengisyaratkan adanya kaitan antara ijtihad tatbiqi dan maqashid asy-sayariah walaupun kaitan itu tidak langsung.

Ungkapan al-Syatibi dapat disederhanakan sebagai berikut : Ijtidad dapat dilakukan dan berhasil apabila seseorang dapat memahami maqashid asy-syariah dengan sempurna. Maqashid asy-syariah dapat dipahami apabila seseorang memiliki kemampuan menguasai bahasa Arab, al-Quran dan Sunnah. Maqashid asy-syariah menjadi kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya, karena kepada landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam kehidupan manusia dikmbalikan. Baik terhadap masalah-masalah baru yang belum ada secara harfiah dalam wahyu maupun dalam kepentingan untuk mengetahui apakah suatu kasus masih dapat diterapkan ketentuan hukum atau tidak karena terjadinya pergeseran-pergeseran nilai akibat perubahan-perubahan sosial.[10]

 

3.      METODE IJTIHAD YANG HARUS DIKEMBANGLANJUTKAN DAN PERANAN MAQASHID ASY-YARIAH DI DALAMNYA

Dalam melihat metode ijtihad apa yang harus dikembanglanjutkan dan kemungkinan peranan maqashid asy-syariah yang lebih besar dalam metode tersebut, penelahaan harus bertitik tolak dari obyek ijtihad itu sendiri. Sebagai sumber tasyri ketiga, obyek ijtihad itu adlah segala sesuatu yang diatur secara tegas dalam nas al-Qur’an maupun sunnah serta secara tegas dalam nas  baik al-Qur’an maupun Sunnah serta masalah-masalah yang sama sekali tidak mempunyai landasan nas, yang didalamistilah Abd. Al-wahab Khallaf dikatakan sebagai ma la nassa fih.[11]

 

4.      MAQASHID ASY-SYARIAH MERUPAKAN PENDEKATAN FILSAFAT DALAM HUKUM ISLAM

Dalam telaahan para ahli bidang hukum, penekanan pemahaman terhadap tujuan-tujuan hukum merupakan pembicaraan tertinggi dari filsafat hukum. Pembicaraan tentang tujuan hukum adlah pembicaraan yang mencangkup pula tentang kegunaan hukum itu sendiri. Dalam kaitan dengan kegunaan ini, filsafat hukum difokuskan pada cita-cita  keadilan atas dasar nilai-nilai yang fundametal bagi kehidupan manusia.

Istilah pendekatan filsafat dlam hukum islam atau filsafat ukum islam, dipakai dengan sangat hati-hati oleh para ahli hukum islam. Perbedaan pendekatan filsafat dalam hukum islam dengan filsafat dalam hukum pada umumnya terletakpada perbedaan substansi hukumi tu sendiri. Hukum islam atau syariat merupakan huum wahyu. Sedangkan hukum pada umumnya adalah hasil pemikiran manusia semata. Urgensi maqashid asy-Syariah dalam pengembangan metode ijtihad, serta keberadaan maqashis asy-Syariah sabagai suatu pendekatan filsafat dalam hukum islam tampak jelas. Namun persalannya aalah bagaimana mekanisme dan bentuk ijtihad yang telah dipertajam dengan analisis maqashid asy-Syariah dapat berperan degan baik dalam memberikan alternatif pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang muncul dewasa ini.[12]

5.      BENTUK IJTIHAD DEWASA INI

Dalam sebagian literatur hukum Islam yang mebahas tentang Ijtihad sering ditemukan adanya sub bahasan tentang tertutupnya pintu ijtihad. Istilah ini semakin jarang ditemukan dalam literatur hukum Islam ulama mutaakhkirin.

Upaya ijtihad dewasa ini berbeda dengan upaya ijtihad pada masa yang lalu. Hal ini disebabkan persoalan-persoalan yang muncul lebih kompleks. Pemecahannya memerluan pendekatan yang tidak hanya pengkajian dari aspek hukum semata, akan tetapi memerlukan pengkajian dari berbagai disiplin, seperti ilmu kesehatan, psikologi, ekonomi dan politik. Dalam kerangka pemahaman dan pertimbangan maqashid asy-Syariah, mekanisme ijtihad kolektif berdampak ganda. Pertama dapat memperluas wawasan keilmuan para ulama hukum islam. Kedua, dengan ijtihad kolektif, para ulama dapat memberi isi yang padat dan komprehensif terfadap suatu putusan hukum. Dismaping itu penerapan bentuk ijtihad dapat memungkinkan pemenuhan persyaratan-persyaratan ijtihad sebagaimana dikehendaki dalam islam. Hanya cara pemenuhan persyaratan yang berbeda.[13]

 

 

BAB III

KESIMPULAN


 

DAFTAR PUSTAKA

Ali Sodiqin,dkk. 2014. Fiqh Ushul Fiqh. Fakultas Syariah dan Hukum:UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta

Husain Jauhar, Ahmad.2009.  Maqashid Syariah. Jakarta : Sinar Grafika Offset

Jaya Bakri, Asafri. 1996. Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi . Jakarta:

PT grafindo Persada

Wahab Khallaf, Abdul. 1996. Kaidah-Kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf.

          Jakarta: Raja Grafindo Persada

Yusuf, Muhammad. 2005. Fiqh & Ushul Fiqh. Yogyakarta : Pokja UIN Sunan

Kalijaga



[1]

 

[2] Ahmad Al-Muhsi Husain Jauhar, Maqashid Syariah (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), hlm. 207.

 

[3] Muhammad, Yusuf. Fiqh & Ushul Fiqh (Yogyakarta : Pokja UIN Sunan Kalijaga,2005) hlm 89-90

 

[4] Dr. Ali Sodiqin,dkk. Fiqh & Ushul Fiqh : Sejarah, Metodologi dan Implementasunya di Indonesia  (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2014) hlm 153-154

[5] Dr Ali Sodiqin,dkk.fiqh Ushul Fiqh (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) hlm154

[6] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996) hlm 333-343

[7] Asafri Jaya Bakri,Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi,(Jakarta:PT grafindo Persada,1996),hlm 106

[8] Ibid, hal 112

[9] Asafri Jaya Bakri, op.cit, hlm 121

[10] Asafri Jaya Bakri, op.cit, hlm 132

[11] Op.cit,

[12] Asafri Jaya Bakri, op.cit, hlm 157

[13] Asafri Jaya Bakri, op.cit, hlm 159


Komentar

Postingan Populer